I. Pendahuluan
Berbicara tentang hubungan antara Aceh dengan Bugis tidak lepas dari membicarakan jalur perdagangan di Nusantara pada awal abad 15. Sejak zaman kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dan negeri Cina memerlukan pelabuhan tempat persinggahan untuk tempat mengambil bekal dan menumpuk barang. Selama beberapa abad fungsi emporium tersebut dijalankan oleh kerajaan Sriwijaya. Merosotnya kerajaan Sriwijaya pada akhir abad XIII menyebabkan fungsi itu terpencar ke beberapa daerah di Nusantara antara lain di Pidie dan Samudera Pasai.[1] Namun, pada abad 15 Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling ramai hingga Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Hal ini berdampak kemunduran sedikit demi sedikit pada pusat perdagangan. Kemunduran Malaka memunculkan Aceh sebagai pusat perdagangan yang disinggahi oleh para pedagang muslim yang tidak mau berhubungan dengan Portugis.
II. Asal Usul Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis
III. Kepemimpinan Para Sultanah dan Sultan Sultanah
P.J. Veth seorang Profesor Etnologi dan Geografi di Universitas Leiden Belanda menulis sebuah karangan berjudul “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel” (= Pemerintahan Wanita di Kepulauan Nusantara). Satu hal yang menarik menurut Veth adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (sultanah) secara berturut-turut dari tahun 1641-1699 M.[4] Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, menantunya Iskandar Thani (suami Safiatuddin Syah) dinobatkan menjadi Sultan. Namun, pada tahun kelima kepemimpinannya (1641) baginda mangkat dan belum dikarunia seorang anak. Selanjutnya Safiatuddin dinobatkan sebagai Sultanah yang memimpin kerajaaan Aceh (1641-1675). Menjelang penobatannya timbul pertentangan di kalangan pembesar di Aceh. Hal ini disebabkan Sultan Iskandar Thani tidak memiliki putra dan pertentangan kelayakan seorang perempuan menjadi pemimpin dalam pandangan Islam. Setelah melalui musyawarah dan ikut campurnya ulama terkemuka yaitu Teungku Abdurrauf As Singkili (Syiah Kuala) yang menyarankan pemisahan antara masalah agama dengan pemerintahan. Akhirnya Safiatuddin Syah dinobatkan menjadi Sultanah wanita pertama.
- Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui Ibnu Syarif Ibrahim (1702-1703), keponakan Sultanah Kamalat Syah. Pada bulan Juni 1703 baginda didepak dari tahta oleh Jamalul Alam Badrul Munir.
- Sultan Jamalul Alam Badrul Munir putra Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin. Pada bulan Agustus 1703 Jamalul Alam Badrul Munir baru mendapatkan pengakuan sebagai Sultan sehingga berkuasa mulai 1703-1726. Di bawah pemerintahannya daerah Batubara (kini di Provinsi Sumatra Utara) memisahkan diri dan baginda dipaksa lari oleh pemberontakan umum pada tahun 1726.
- Sultan Johar Alam Amaddin Syah (1726) mangkat setelah 20 hari menjadi sultan.
- Sultan Syamsul Alam (Wan di Tebing) kemenakan Jamalul Alam Badrul Munir, beberapa minggu setelah dinobatkan diturunkan kembali pada akhir Desember 1726.
Pada bulan Juni 1727 dengan suara bulat ketiga Panglima Sagi memilih Maharajalela Melayu menjadi Sultan dengan gelar Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727-1735) putra Abdurrahim Maharajalela Bin Zainal Abidin (Teungku di Lhong) bin Daeng Mansur juga yang bergelar Teungku Chik Di Reubee mertua Sultan Iskandar Muda.Dengan demikian pemerintahan di Aceh kembali dipangku oleh Sultan berdarah Aceh-Bugis.
b. Sultan
Masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727-1735)hingga Sultan Alaiddin Johan Syah (1735-1760) selalu dihadapkan pada pertentangan yang dilancarkan oleh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir yang ingin berkuasa kembali. Namun, kedua Sultan yang hidup pada masa yang berbeda memiliki visi yang sama dalam menjalankan roda pemerintahan diantaranya mereka dapat membuka hubungan perdagangan dengan Inggris dan Perancis tanpa memberi izin kepada mereka membuka benteng.[6] Sultan Alaiddin Johan Syah (Pocut Uek) digantikan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1760-1781). Salah satu keberhasilannya adalah kenegerian Barus kembali kepangkuan Aceh pada tahun 1778 yang sebelumnya diduduki oleh Belanda. Sultan Aleidin Mahmudsyah berturut-turut digantikan oleh Sultan Alaiddin Muhammad Syah (1781-1795), Sultan Aleidin Alam Syah (1795-1824), Sultan Muhammad Syah pada 1824-1836, masa-masa ini adalah semakin gencarnya infiltrasi Barat (Inggris) ke Pulau Sumatra. Sultan Muhammad diganti oleh Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah (1836-1870) masa pemerintahan beliau satu persatu daerah kekuasaan Aceh di luar Pulau Sumatra jatuh ke tangan Belanda diantaranya Barus dan Nias. Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah digantikan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1870-1874). Pada tahun 1873 pecahlah perang Belanda di Aceh yang dimulai dengan Agresi Militer Belanda I. Inilah awal perang yang memunculkan keheroikan masyarakat Aceh. Agresi Belanda terhadap Aceh adalah awal kesengsaraan hingga pupusnya kesultanan Aceh. Akibat perang yang memakan waktu lebih 40 tahun menghancurkan bukan saja dalam bentuk fisk berupa lambang-lambang kerajaan seperti istana (Dalam), mesjid raya tetapi juga dengan pengasingan Sultan yaitu Sultan Alaiddin Mahmud Daud Syah.
IV. Penutup
Satu kenyataan bahwa hubungan Aceh dan Bugis diikat oleh benang merah yang mempersatukan keduanya akibat perkawinan kaum bangsawan hingga melahirkan para sultanah dan sultan Aceh keturunan Bugis yang pernah bertahta di Kerajaan Aceh khususnya dimulai dari Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727) hingga Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah (1903).
Sultan terakhir tertawan oleh Belanda dan diasingkan ke Ambon pada tahun 1907, kemudian dipindahkan ke Batavia (kini Jakarta) hingga mangkat pada bulan Februari 1939 dan makamnya dewasa ini berada di Rawamangun Jakarta.
Akhirnya dari tulisan ini jelaslah pada kita bahwa Negara kita yang diikat dalam NKRI memang bagian yang tidak terpisahkan antara satu daerah dengan daerah lainnya di kepulauan nusantara ini yang memiliki simpul-simpul sejarah. Bila dikaji memang seharusnya kita tidak boleh terpisahkan. Kita dipersatukan oleh sejarah, dipersatukan oleh ikatan darah antar satu suku dengan suku lainnya.
CATATAN KAKI
[1] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporium sampaiImporium, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 4.
[2] Tuanku Abdul Jalil, Peranan Aceh-Bugis Menghadapi Inggris dan Belanda, makalah Musyawarah Kerja Nasional Sejarah XII, (Medan : Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 12-15 Juli 1994).
[3] Ibid., Sumber ini mungkin dapat dibaca lebih lanjut pada T.J.Veltman, Nota over de Geschiedenis van Het Landschap Pidie, TBG, : 58,1919, hlm. 79-87,101.
[4] Rusdi Sufi dalam Ismail Sofyan (ed.), Wanita Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta : Jayakarta Agung Offset, 1994), hlm. 42.
[5] Masalah federasi pemerintahan di Kerajaan Aceh ini dapat dibaca dalam Van Langen, K.F.H “De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” BKI 37,1888. dan buku Mohammad Said, Atjeh Sepandjang Abad Jilid I,
[6] Ibid., Lihat juga Mohammad Said Atjeh Sepandjang Abad,
Tulisana yg menarik Ibu Irini ..
BalasHapusSaya sebagai Putar daerah Sul_sel baru tahu mengenai hal ini....
Mohon kiranya tulisan ibu saya share ke blog saya juga ...
Di Passompeugi.blogspot.com
Salam dan terima kasih
Ada salah mengatakan Daim Mansyur orang Bugis, memang benar dia dari Bugis tapi bukan orang bugis,leluhur dia berasal dari Aceh yang belajar Islam ke Mekkah setelah dari Mekkah menetap dibugis, Maaf masih ada keturunannya di Aceh.
BalasHapusmohon bantuannya...bagaimana cara sebaiknya utk menghubungi irini dewi wanti? saya ingin mengetahui darimana data mengenai daim mansyur yang tetulis itu. Terimakasih
Hapussilsilah Sultan Aceh keturunan Bugis diawali dengan kisah seorang yang bernama Daeng Mansyur dari Wajo (kini salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan). Ia seorang anak raja yang terdampar di perairan Pidie (Kini Kabupaten Pidie di Provinsi Nanggroe
BalasHapusdarimana didapatkan menegnai DAIM MANSYUR???? saya mohon penjelasan, balasannya. Terimakasih
saya dari malaysia,mencari salasilah datok mahaguru ku ali geti dan nenek selayang pandang,mungkin salasilah sebelum sultan Ali riayat shah.harap2 anda yg mulia dapat membantu kami.
BalasHapusSaya agak terkejut membaca nisan nektu saya ada bin bugeh (bugis)nya.
BalasHapusSetelah membaca artikel ini, saya baru sadar ada kaitan suku aceh dengan bugis
Saya keturunan dari pakeh sendri mukim pidie dari buku silsilah yg tinggal dengan saya kami memang ada keturunan bugis yg terdampar dan hidup di aceh...buku tersebut mash ada dengan saya...no hp saya 081262624924 saya tinggal dimedan...teeimakasih
BalasHapusbuku itu bsa d pinjam buat d bacakah mas
Hapusmemang ada hubungan antara bugis dan aceh bila dilihat dari istana/rumah adatnya
BalasHapusAssalamualaikum..saya jg keturunan Aceh yg berhijrah ke Patani. Kemudian ke pekan Pahang. Penghijrahan ini berlaku pada kurun 17. Moyang ke 10 sy bernama tok dolhamat. Sebelum tsunami keluarga Aceh ada berjumpa rombongan dari Malaysia. Sy x ikut serta kerana x tahu. Sy jg ada pertalian sedara dgn Allahyarham Tun Razak.
BalasHapusAssalamualaikum..saya jg keturunan Aceh yg berhijrah ke Patani. Kemudian ke pekan Pahang. Penghijrahan ini berlaku pada kurun 17. Moyang ke 10 sy bernama tok dolhamat. Sebelum tsunami keluarga Aceh ada berjumpa rombongan dari Malaysia. Sy x ikut serta kerana x tahu. Sy jg ada pertalian sedara dgn Allahyarham Tun Razak.
BalasHapusjadi senang melihat ada pertalian antara bugis dan aceh
BalasHapusvideo menarik soal ini https://www.youtube.com/watch?v=Isc5-7lFggc
BalasHapus