Jumat, 02 November 2012

PERANG SUNGGAL (1872-1895) (Tinjauan Historis Terhadap Masalah Konflik Tanah di Sumatera Utara)



I. Pendahuluan
 
 Sejarah mencatat, apa yang dilakukan Sultan Deli dengan menyewakan tanah komunal kepada perusahaan perkebunan swasta asing menuai konflik berdarah. Pada tahun 1870, Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam memberikan tanah subur di wilayah Sunggal, yang membentang dari Pancur Batu di Kabupaten Deli Serdang hingga di pinggiran Selatan Kota Medan, sebagai wilayah konsesi perusahaan perkebunan tembakau De Rotterdam dan Deli Maschapij. Pemberian tanah ini tanpa melalui perundingan dengan penguasa serta rakyat di wilayah Sunggal sehingga menimbulkan konflik bersenjata. Datuk Badiuzzaman Surbakti, pemimpin masyarakat Sunggal, pada tahun 1872 mengadakan perlawanan atas tindakan sepihak Sultan Deli. Perang pun pecah antara Sultan yang didukung Belanda dan masyarakat Sunggal yang dipimpin Badiuzzaman Surbakti.
Perang ini berlangsung dalam kurun waktu 23 tahun, dari tahun 1872 hingga 1895. Sejarah mencatat sengketa tanah ini sebagai Perang Sunggal. Perang ini menjadi penanda dimulainya sengketa tanah di Sumut yang melibatkan rakyat dengan perusahaan perkebunan. Perang ini mempunyai dua nama yaitu 'Perang Sunggal' dan 'Perang Batak'. Penamaan 'Perang Sunggal' muncul karena perang ini terjadi di daerah Sunggal,[1] tempat tinggal masyarakat Melayu dan masyarakat Karo ketika itu. Perang ini disebut Belanda juga dengan 'Perang Batak' atau Batak Oorlog karena medan pertempurannya kebanyakan berada di pegunungan yang didiami oleh masyarakat Batak-Karo.

II.  Pemberontakkan Rakyat Sunggal

                Dibukanya penanaman tembakau  secara besar-besaran oleh Nienhuys tahun 1863 di sekitar kota Medan  sebagai awal dari permasalahan pertanahan di Sumatera Timur pada masa Kolonial Belanda bahkan hingga sekarang ini.  Timbulnya perkebunan-perkebunan tembakau menyebakan banyaknya tanah yang berada di bawah kekuasaan Urung Empat Suku yang berkuasa di sekitar Medan dijadikan kebun tembakau.
                Pemberian konsesi tanah-tanah oleh Sultan Deli tidak dilakukan dengan jalan musyawarah dengan para pemimpin urung sedangkan dalam tata karma Kerajaan Deli kedudukan datuk  pimpinan urung  sangat menentukan dalam pemerintahan. Kondisi ini merupakan pelanggaran adat istiadat dan tradisi kerajaan Deli, terutama dalam masalah penyewaan tanah-tanah yang berada dalam wilayah urung tersebut. Seluruh pelanggaran terhadap adat istiadat ini  terjadi pada masa pemerintahan Datuk Kecil, yaitu datuk yang menguasai  Urung Sunggal  dan lebih dikenal dengan nama Datuk Sunggal. Pada masa pemerintahan inilah terjadi pertumbuhan perkebunan Belanda sekitar Kerajaan Deli. Pertumbuhan perkebunan-perkebunan tersebut melahirkan kegoncangan-kegoncangan dalam kehidupan masyarakat di Kerjaan Deli terutama pada daerah Urung Empat Suku atau disebut kemudian daerah datuk-datuk yang empat.
Kegoncarigan itu disebabkan rakyat Sunggal melihat di sekeliling mereka Deli dan langkat : tanah-tanah rakyat yang subur diberikan untuk konsesi perkebunan tembakau kepada maskapai-maskapai asing sedang keuntungan tidak diberikan kepada rakyat di situ, mulailah Sunggal berjaga-jaga dan menentang cara-cara itu…[2]
Contoh di atas merupakan suatu gambaraan dari keadaan di urung yang dikuasai oleh Datuk Sunggal. Perasaan tidak puas rak­yat pada daerah tersebut juga disebabkan oleh perusakan tata kehidupan masyarakatnya. Sejak adanya perkebunan-perkebunan di sekitar kediaman penduduk, lahirlah suatu kelompok masyara­kat yang asing bagi penduduk. Belanda mendatangkan buruh-buruh dari Negari Cina dan India untuk pembukaan perkebunan tembakau itu. Kehidupan masyarakat asing yang berada di dekat desa-desa penduduk sering melahirkan gangguan-gangguan pada desanya seperti kebiasaan berjudi, minuman keras, dan lain-lain. Hal inilah yang sangat menggelisahkan penduduk. Seluruh keadaan ini diharapkan penduduk dapat diakhiri dengan melenyapkan pengaruh Belanda dari daerahnya melalui perlawanan bersenjata. Datuk Sunggal mengetahui bagaimana perasaan rakyatnya pada waktu itu sehingga ia mengadakan persiapan-persiapan untuk mengusir Belanda dari daerahnya dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan dan mengadakan kesiapsiagaan pasukannya. Tindakan dari Datuk Sunggal itu mendapat dukungan dari masyarakat Batak Karo di Pegunungan, karena penduduk yang mendiami daerah urung empat suku itu adalah suku bangsa Karo yang masih mempunyai ikatan keluarga walaupun mereka te­lah memeluk Agama Islam.
Layaknya wilayah lain di Nusantara, dahulu rakyat Sumatera Utara tak pernah mengenal kepemilikan individual atas tanah. Kedatangan Belanda yang membuka perusahaan perkebunan menandai dimulainya era kepemilikan individual itu.
Melihat kesiapsiagaan Datuk Sunggal tersebut, Belanda yang mempunyai kepentingan dalam penanaman modalnya di Deli segera mendatangkan pasukannya dari Jawa sebelum keadaan tersebut menjadi lebih parah. Pada 15 Mei 1872 datanglah pasukan ekspedisi Belanda yang pertama dipimpin oleh Kapten W. Koops. Belan­da bersama dengan pasukan Kerajaan Deli sebagai penunjuk jalan, mulai melakukan penyerbuan ke daerah perbentengan Sunggal sehingga terjadilah Perang Sunggal. Dalam peperangan ini para pejuang dari Datuk Sunggal tidak hanya bertahan tetapi juga me­lakukan penyerangan-penyerangan. Mereka membakar bangsal-bangsal tembakau dan mengganggu pekerjaan buru-buruh perkebunan agar apa yang diharapkan Belanda tidak dapat tercapai.[3]
Disebabkan serangan-serangan ini pihak perkebunan Belanda mengalami kesulitan. Pasukan ekspedisi yang didatangkannya tidak dapat mengatasi keadaan. Bahan makanan yang selama ini didatangkan dari daerah pedesaan tidak dapat masuk ke kota dan perkebunan. Untuk mengatasi ini Belanda terpaksa mendatangkan beras dari Penang. Sementara itu kegiatan dari pejuang-pejuang Datuk Sunggal melahirkan perang urat syaraf sehingga Belanda harus terus-menerus berjaga-jaga.
Diantara serangan-serangan yang dilakukan oleh rakyat Sunggal yaitu  dilakukan di daerah Rantau Betul, Timbang Langkat, rakyat membuat lombang-lobang pesembunyian dan ranjau untuk serdadu Belanda akibatnya  berjatuhan korban di pihak Belanda. Namun untuk mencari gerilyawan Sunggal Belanda membumihanguskan kampung-kampung di sekitar Sunggal. Rakyat juga menyerang rumah-rumah administrateur perkebunan dan membakarnya sehingga Belanda mengungsikan para administrateur dan keluaranya ke daerah-daerah yang aman.[4] Perang ini mendapat perhatian serius dari Kerajaan Belanda karena  perlawanan rakyat yang meluas hingga daerah pegunungan Karo dan hampir seluruh Sumatera Timur  harus segera dipatahkan.
Untuk mempercepat berakhirnya perang ini Belanda mengirim lagi ekspedisinya yang kedua. Pasukan ini lebih banyak dari yang pertama serta dipimpin oleh Letnan Kolonel Von Homracht. Persenjataannya lebih lengkap dari pasukan pertama karena dilengkapi oleh artileri berkuda. Pasukan ini bertujuan untuk mengadakan penyerahan ke kubu-kubu pertahanan Sunggal, Perlawanan Datuk Sunggal yang dibantu oleh penduduk pe­dalaman itu sangat memusingkan Belanda sehingga Belanda mencoba untuk mencari kubu-kubu pertahanan Sunggal. Untuk tujuan tersebut diperlukan meriam-meriam yang dapat menghancurkan kubu-kubu tersebut. Walaupun demikian perlawanan dari pasukan Sunggal tidak dapat dipatahkan oleh Belanda. Berbagai siasat dilakukan Belanda untuk mengamankan daerah sekitar Deli, tetapi tidak membawa hasil. Dengan suatu tipu muslihatnya Belanda mengajak Datuk Kecil atau lebih terkenal lagi dengan Datuk Sunggal untuk berunding menyelesaikan segala perbedaan pendapat.
Usul itu disetujui oleh Datuk Sunggal dan perundingan dilaku-kan pada 25 Oktober 1872. Dalam perundingan itu Belanda mela­kukan suatu tindakan yang licik. Perundingan tidak diadakan, dan Belanda mengatakan bahwa Datuk Sunggal sekarang menjadi tawanan Belanda. Tindakan Belanda yang merupakan tipu muslihat ini berhasil dan Datuk Sunggal bersama putera-puteranya kemu­dian dibuang ke Cilacap berdasarkan putusan dari Gubernur Jenderal Belanda yang berkedudukan di Batavia.[5]
Dengan ditawannya Datuk Kecil maka Datuk Badiuzzaman juga ditangkap dengan tipu muslihat Belanda dan dibuang pula ke Cianjur. Dengan ditangkapnya tokoh-tokoh Perang Sunggal ini Perang Sunggal pun berakhir pada tahun 1873, tetapi secara kecil-kecilan masih terus terjadi perlawanan terhadap Belanda tidak saja di Deli tetapi juga dibagikan lain dari wilayah Sumatera Timur, misalnya di Asahan dan Sumalungun seperti telah diuraikan di atas. Untuk mengamankan daerah perkebunan yang vital di Suma­tera Timur terutama di Deli, pihak perkebunan Belanda mengusulkan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar suku-suku itu dipecah-pecah sehingga mudah dapat dikuasai. Daerah Deli yang banyak hubungannya dengan daerah Karo di pegunungan dipecah karena mereka itu sebenarnya satu keturunan.
Untuk   melakukan  hal itu perlu  dipercepat pengembangan Agama Kristen di daerah tersebut. Pemisahan satu suku tersebut dalam dua agama yang berlainan memudahkan Belanda untuk menguasai daerah ini sehingga  perkebunan Belanda dapat aman. Usul ini   dapat diterima Belanda sehingga setelah peperangan yang melanda daerah Sumatera Timur dan Tapanuli berakhir, Belanda mengirimkan missi Nederlandsche Zending Genvotschap untuk mengembangkan Agama Kristen di Dataran Tinggi Karo.[6] Jurang pemisah itu semakin meluas karena di daerah pesisir Belanda mendukung tindakan kebijaksanaan raja-raja yang hanya meneri-ma pegawainya tidak bermarga. Penduduk pesisir kemudian menanggalkan marganya agar dapat menjadi warga dari kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur seperti Deli, Serdang dan Langkat. Keadaan ini melahirkan pertentangan antara penduduk pantai dengan daerah pedalaman, tetapi dengan politih pecah belah Belanda berhasil berkuasa di daerah Sumatera Timur.

III. Dari Perang Sunggal Hingga Sengketa Tanah

                Telah diulas di atas kedatangan Nienhuys, pengusaha onderneming (perkebunan) asal Belanda ke tanah Deli, yang sekarang menjadi wilayah kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, pada Juli 1863 dianggap sebagai awal mula dari carut-marutnya sengketa tanah di Sumut.[7]
Menurut Saidin sultan atau ketua masyarakat adat menyewakan tanah-tanah tersebut dengan tenggang waktu selama 75 hingga 99 tahun. Sultan bertindak atas nama masyarakat hukum adat dan diketahui gubernur jenderal sebagai wakil Kerajaan Belanda di Hindia Timur.  Ahli hukum agraria dari Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Dr Muhammad Yamin Lubis, mengungkapkan, tindakan Sultan Deli menyewakan tanah adat ke perusahaan swasta asing telah mengubah konsep kepemilikan tanah di wilayah Kesultanan Deli.
”Seperti juga di wilayah lain di Indonesia, di Deli tanah itu milik Tuhan yang diberikan kepada rakyat. Atas nama rakyat, raja kemudian mengorganisasinya. Kepemilikan tanah tetap atas nama rakyat, hanya saja yang mengorganisasi raja. Ini berbeda dengan hukum agraria Barat, di mana raja adalah pemilik keseluruhan tanah,"[8]
 Konsep hukum agraria Barat yang dibawa ke Deli dimulai saat perusahaan perkebunan swasta menyewa tanah langsung dari sultan tanpa melibatkan rakyatnya. Perusahaan perkebunan ini menyewa tanah langsung ke raja, padahal rakyatlah yang punya. Mereka membuat kontrak dengan raja sendirian. Hak-hak kepemilikan tanah mulai terindividualisasi. Jika masyarakat ingin diakui sebagai pemilik sah atas tanah, mereka harus mendaftar dan memiliki surat atau sertifikat, ujarnya.
Menurut Yamin, hukum agraria Barat yang dibawa Belanda juga memperkenalkan masyarakat Deli dengan konsep hak ulayat. Setelah tanah komunal mereka disewakan sepihak oleh sultan, perusahaan perkebunan memberikan tanah untuk dikelola rakyat. Tujuannya agar rakyat tidak merambah tanah yang telah dikonsesikan kepada perusahaan perkebunan. Ketika Jepang menjadi penguasa di tanah Deli, hampir tak ada aturan soal tanah. Baru setelah Indonesia merdeka, negara mulai mengurus bukti kepemilikan tanah masyarakat maupun perkebunan.
Di Sumatwera Utara setelah terbit Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Pemakaian Tanah oleh Rakyat, pemerintah mulai mengatur bukti penguasaan tanah bekas perkebunan swasta asing oleh masyarakat. Masyarakat mengenal kartu registrasi penggunaan tanah (KRPT), surat keterangan tanah (SKT), girik, hingga Ipeda. Di Sumut, selain surat tersebut, ada juga Grant C (controleur), bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan perkebunan kepada rakyat; Grant Deli Maschapij, bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan perusahaan tembakau Deli Maschapij; dan Grant Sultan, bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan sultan kepada rakyat, akan tetapi surat tersebut tak beraturan. Ada yang keluar di atas tanah yang bukan haknya. Setelah terbit UU No 5/1960 tentang Agraria, negara memberikan kesempatan kepada pemilik surat tersebut untuk mengonversi hak mereka atas tanah dengan sertifikat, baik sertifikat hak milik, sertifikat hak guna bangunan, maupun sertifikat hak guna pakai.
Namun, yang terjadi sebelum ada konversi, tanah ini sudah diperjualbelikan dan itu tidak di lembaga yang ditunjuk UU. Akibatnya, sampai sekarang di Medan, SK Camat hampir rata menjadi masalah. Padahal, SK Camat itu bukan bukti kepemilikan, hanya surat yang menunjukkan tanah itu terletak di suatu tempat. Mestinya, tanah yang menjadi milik negara dikonversi menjadi hak penguasaan, tanah yang menjadi milik perkebunan dikonversi jadi hak guna usaha (HGU), dan tanah yang menjadi milik rakyat dikonversi jadi hak milik keperdataan. Di dalam kehidupan yang sebenarnya, rakyat kita tak pernah memiliki bukti kepemilikan tertulis. Rakyat juga tak mau berurusan dengan lembaga pemerintah yang mengatur hak mereka, seperti badan pertanahan karena takut bakal dipunguti pajak.[9]

IV. Rakyat vs perkebunan

Kebiasaan rakyat yang enggan memiliki bukti tertulis penguasaan mereka atas tanah menjadi bibit baru sengketa tanah ketika pemerintah menasionalisasi perkebunan swasta asing menjadi perusahaan perkebunan negara (PTPN). Masyarakat Deli yang dulunya diberi hak ulayat oleh sultan dan perusahaan perkebunan swasta asing tak lagi bisa menikmatinya ketika perkebunan negara tak lagi mengakui hak mereka. Rakyat kemudian menuntut haknya. Mereka tak segan menyerobot tanah perkebunan seperti yang terjadi pada konflik masyarakat Melayu Deli dengan PTPN II. [10] Konflik pun meluas, tak lagi antara masyarakat Melayu dan perusahaan perkebunan, seperti PTPN II, tetapi antara bekas buruh kontrak dari Jawa hingga pendatang dari Tapanuli.
Sengketa tanah yang melibatkan bekas buruh perkebunan dari Jawa dengan perusahaan perkebunan, antara lain, terjadi dalam kasus pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu di Deli Serdang. Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) yang banyak mendampingi masyarakat yang berkonflik dengan perkebunan mencatat, sengketa jenis ini terjadi merata di semua wilayah Sumut. 
Di Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, misalnya, rakyat yang dulu membuka hutan dan mendirikan perkampungan sendiri tiba-tiba tanahnya diklaim sebagai bagian dari HGU milik Perusahaan Perkebunan (PP) London Sumatera. 
Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mencatat jenis konflik lain antara petani dan perusahaan perkebunan. Menurut Sekretaris Eksekutif Bakumsu Mangaliat Simarmata, 301 keluarga di Desa Suka Rame dan Desa Sono Martani, Kecamatan Kualu Hulu, harus kehilangan tanah akibat ditipu perusahaan perkebunan PT Sawita Leidong Jaya dan PT Grahadura Leidong Prima. Kedua perusahaan itu menjanjikan lahan garapan baru bagi petani di kedua desa kalau mereka melepas tanah garapannya. Rakyat yang memang menggarap lahan di hutan register 4 mau memberikan tanah garapan mereka kepada kedua perusahaan tersebut. Bupati Labuhan Batu pun memberikan izin prinsip kepada kedua perusahaan membuka perkebunan kelapa sawit di hutan register 4. Namun, janji kedua perusahaan tidak dipenuhi. Rakyat kehilangan tanah garapan. Saat mereka merambah dan merusak kebun sawit kedua perusahaan, polisi pun bergerak. Dua orang warga desa ditahan di Kepolisian Daerah Sumut. [11] 
Kasus lain adalah sengketa tanah Pando Perengan di Afdeling 13 Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun. Masyarakat yang umumnya datang dari Pulau Samosir pada tahun 1950 menggarap bekas perkebunan Belanda yang dibiarkan telantar. Yang mereka garap adalah rawa-rawa yang dikenal dengan istilah Pando dan tanah penghubung dengan daratan yang disebut Perengan karena bentuknya yang landai. Kini lahan yang mereka garap diklaim merupakan bagian dari HGU PTPN III. Mereka yang mencoba menuntut kembali haknya dicap komunis.[12]

VI. Penguasaan hutan

Jenis sengketa tanah lain yang juga terjadi di Sumut adalah penguasaan lahan oleh masyarakat di hutan yang telah gundul oleh pembalak liar. Hardi Munthe dari Walhi Sumut mencatat kasus ini terjadi di hutan register 1 Kabupaten Simalungun. "Sebanyak 56 petani ditangkap polisi dengan alasan merambah hutan. Padahal, hutan yang mereka rambah sudah gundul oleh pembalak liar. Petani yang katanya merambah malah mendapat pembinaan dari dinas kehutanan setempat untuk mengelola hutan. Dengan alasan operasi hutan lestari, mereka malah ditangkap, sementara pengusaha yang dulu membalak sampai sekarang dibiarkan bebas," kata Hardi.
Solusinya, menurut Hardi, rakyat diberi hak pengelolaan hutan. Hardi mengatakan, hampir semua rakyat di Sumut yang tinggal di sekitar hutan punya kearifan lokal. Di Tapanuli Selatan dikenal istilah hutan harangan (larangan), wilayah hutan yang terlarang dieksploitasi warga.  "Pengelolaan hutan bisa sustainable dan rakyat bisa mendapat keuntungan. Di Simalungun, rakyat sudah menanami bekas hutan yang gundul dengan pohon seperti kemiri, mangga, dan durian. Namun, mengapa mereka malah ditangkapi. Dengan tanaman jenis itu, daerah tangkapan air terjaga, sementara rakyat bisa dihidupi. Sementara, kalau pengusaha yang membuka hutan, bakal monokultur dengan ditanami tanaman seperti sawit dan karet," kata Hardi.[13]  

VI. Penutup

                Dalam masyarakat yang plural berbagai hal dapat menjadi dasar terjadinya konflik baik internal maupun eksternal. Contoh kasus dalam uraian tulisan ini akar konflik yang terjadi pada saat ini adalah kelanjutan dari konflik yang terjadi pada abad 19. Perbedaannya adalah pertentangan yang dilakukan oleh rakyat dilakukan oleh masa pemerintahan yang berbeda. Namun bagaimanapun kepentingan rakyat tetap harus diselesaikan seadil-adilnya karena konflik internal maupun eksternal tentu akan merugikan pihak manapun bila tidak diselesaikan secara arif.



[1] Sunggal adalah nama salah satu urung dari empat urung di Kerajaan Deli yang juga sebagai kerajaan penyangga dan pimpinannya menjadi penasehat dalam  menentukan keputusan Sultan Deli. Sedangkan letaknya di sebelah Utara Kota Medan atau saat ini menjadi nama salah satu kecamatan di Kota Medan yaitu Kecamatan Medan Sunggal
[2]Muhammad Said, Koeli Koentrak Tempo Doeloe,  (medan: Waspada, 1977), hlm. 8
[3]SP.Napitupilu, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme di Sumatera Utara, (Medan : Depdikbud, 1991), hlm.84
[4] Tengku Luckman Sinar, Sari Sedjarah Serdang,  (Medan : Penerbit Sendiri, Tanpa Tahun), hlm. 157.
[5] SP. Napitupulu, Op.Cit, hlm. 85
[6] Ibid.
[7]Nienhuys adalah orang yang memperkenalkan tanah Deli ke dunia dengan membuka perkebunan tembakau, yang galur asli daunnya masih terkenal di seluruh dunia hingga kini. Berawal dari keberhasilan Nienhuys inilah, di wilayah Karesidenan Sumatera Timur yang kini menjadi Sumatera Utara mulai berdiri perkebunan swasta asing dengan komoditas lain, seperti karet dan kelapa sawit. Perusahaan swasta asing ini menyewa lahan untuk membuka perkebunan dari sultan dan ketua masyarakat adat melalui akta konsesi.
[8] http//www.yahoo.blok.karo.....24 Oktober 2007
[9] Lebih lanjut dapat dibaca dalam buku K Saidin, Kepala Pertanahan Kesultanan Deli, dalam buku Sengketa Tanah dan Alternatif Pemecahan Studi Kasus di Sumatera Utara (Sumut), atau site : http//www. Block karo...
[10] Ibid
[11] ibid
[12] Peristiwa Bandar Betsy selalu dikaitkan dengan masalah pemberontaan PKI di Sumatera Utara meskipun saat ini telah diulas bahwasanya peristiwa ini lebih cenderung pada masalah sengketa tanah.
[13] Khaeruddin, Dari Perang Sunggal sampai Lahan Kuala Namu (Makalah)

Rabu, 20 Januari 2010

GANJA : TANAMAN SUBUR DI ACEH (Tinjauan Terhadap Julukan Aceh sebagai Penghasil Ganja)

I. Pendahuluan

Dahulu sekitar tahun 90-an, ketika penulis masih di bangku kuliah hal yang paling fenomenal bagi “anak Medan” adalah kumpul, minuman keras dan ganja. Apa yang mungkin disamakan dengan kata “anak gaul”, saat ini maka mereka yang tidak pernah sama sekali menyentuh “barang haram” ini dianggap tidak gaul. Bukan permasalahan anak gaul yang menjadi ketertarikan penulis untuk menuangkan fenomena ini dalam satu tulisan, melainkan “ganja” si daun haram yang menjadi unik untuk dikaji. Ganja Aceh adalah bagian dari stereotipe yang sering dilontarkan anak muda tentang Aceh, julukan ini memang sangat negatif bagi keberadaan Aceh yang juga lebih dikenal dengan Serambi Mekah, namun banyak tulisan bahkan realita yang terjadi bahwa tanaman ini memang tumbuh subur di gunung-gunung atau perbukitan Aceh sehingga hampir setiap hari ada berita di koran tentang penemuan ladang ganja di Aceh, atau tertangkapnya oknum yang membawa ganja dari Aceh.


II. Sejarah Ganja dan Persebarannya

Berdasarakan tinjauan historis, tanaman ganja pertama kali ditemukan di daratan Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina kuno telah mengenal dan memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu. Masyarakat Cina menggunakan ganja untuk bahan tenun pakaian, obat-obatan, terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria. Ganja diolah untuk minyak lampu dan bahkan untuk upacara keagamaan seperti memuja dewa dan ritual kematian. Secara esensial ganja juga dianggap tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh di mana saja karena tanahnya memang cocok. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah yang tidak sesuai dengan kultur tanaman ini. Ganja memerlukan karakter tanah dan faktor geografis tertentu, seperti di Cina, Thailand dan Aceh. Sementara di belahan bumi lainya seperti Eropa, Afrika dan Amerika, ganja juga dapat tumbuh, namun hasilnya tak memuaskan, kecuali harus dengan sentuhan teknologi canggih, itu pun sangat sulit diaplikasikan. Seiring dengan perkembangan dunia medis dan industri, negara-negara maju mulai mempertimbangkan untuk menjadikan serat ganja sebagai bahan minyak bakar karena mudah dan aman dari kebakaran. Serat dari tanaman ini juga lebih kuat dari kapas sehingga dapat dijadikan tali kapal oleh Amerika pada perang dunia II.

Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya. Setalah bertahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh Aceh, ganja mulai dikonsumsi, terutama dijadikan ‘rokok enak,’ yang lambat laun mentradisi di Aceh.

Orang Indonesia mengenal ganja, opium dan barang candu lainnya dalam bentuk tanaman juga sejak perang dunia II. Belanda melegalkan ganja pada masa itu khususnya kepada orang-orang Cina yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang. Mereka biasa menghisap candu dengan menggunakan pipa kecil yang panjang. Belanda memang mensuplay ganja untuk para pecandu ini yang didatangkan dari Aceh. Pada akhirnya Belanda juga mengeluarkan undang-undang untuk menghindarkan pemakaian dan akibat yang ditimbulkan (verdovende middelen ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (state gazette No. 278 juncto 536).

Hingga saat ini Aceh adalah surga bagi tanaman ganja, tanaman ini tersebar di seluruh hutan-hutan lebat di Aceh, bahkan diisukan menjadi ladang ganja terbesar di Acia Tenggara selain Thailand. Kondisi geografisnya yang mendukung, tanah yang subur, hujan yang teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang tidak berubah-ubah, membuat ganja mampu tumbuh subur. Di hutan-hutan Aceh tersebar hampir ribuan hektar ladang ganja. Dari kabupaten Bireun, Aceh Besar (Lam Teuba), Aceh Tengah, Aceh Utara pedalaman dan Aceh Tenggara. Di Kabupaen Bireun disinyalir mempunyai 44 titik ladang ganja yang tersebar di lima kecamatan masing-masing seluas 20-90 hektar, Diantara desa yang memiliki ladang terbesar adalah desa Blang Beruru dan di pegunungan Sarah Kulu Peudada. Aparat kepolisian pernah mensinyalir dua tempat ini sekaligus dengan mengerahkan 100 personil polisi. Jarak tempuh yang berat membuat aparat hanya mendapat 23 hektar ladang ganja di dua lokasi tersebut, 10 hektar di desa Blang Beruru dan 13 hektar di pegunungan Sarah kulu. Meski operasi ini belum sepenuhnyamaksimal, namun hasil yang didapat sungguh melelahkan, karena 23 hektar berarti bisa menjadi 2300 kilogram lebih ganja. Padahal diperkirakan masih ada 30 hektar lagi yang masih harus dibasmi dengan medan yang cukup berat dan personil kepolisian yang terbatas.

Di Aceh Besar sebuah desa bernama Lamteuba menjadi terkenal ke luar Aceh karena kualitas ganja yang baik di pasaran nasional maupun internasional. Ladang ganja di desa Lempuyang Pulau Breuh yang dapat menghasilkan 20 ton ganja setiap kali panen. Rimbunnya pepohonan ganja ini bukan hanya karena daerah ini tidak terjangkau oleh manusia. Ada sebagian masyarakat berpendapat bahwa ganja sebenarnya tidak ditanam atau sengaja dipelihara sebagaimana tumbuhan padi atau palawija lainnya, karena ganja di Aceh bagaikan rumput yang tumbuh subur tanpa harus disemai, disiangi dan diberi pupuk. Biji ganja yang kering saat pecah akan membelah jatuh ke tanah menjadi tumbuhan baru dan tanah Aceh menerimanya. Awalnya bagi masyarakat hanya sebagai tanaman pembunuh hama, bumbu dapur sebagai pelengkap kelezatan makanan dan obat-obatan. Disebabkan harganya yang lebih dari menjual emas, maka mulailah ganja menjadi komoditi eksklusif yang menggiurkan walaupun dengan resiko yang sangat tinggi.

Bagi masyarakat Aceh sendiri penggunaan ganja bagi campuran rokok (tembakau) bukanlah hal yang luar biasa, sebaliknya menjadi pengedar ganja dan sukses itu menjadi pekerjaan yang tidak sembarang orang dapat melakukannya. Ganja harus keluar dari Aceh, karena yang banyak mengharapakan daun ini justru orang-orang dari luar Aceh. Bersusah payah pengedar akan berusaha membawa ganja keluar Aceh, biasanya melalui jalan darat yang harus ditembuh dengan resiko berhadapan polisi atau anjing pelacak. Bagaimana resiko ini tidak ditempuh karena ganja di Aceh harganya 1 kilogram hanya Rp. 200.000, sampai ke Medan menjadi Rp. 700.000 dan di Jakarta atau di Jawa menjadi 2 juta per kilogramnya bahkan jika perons mencapai Rp. 350.000 atau 3,5 juta perkilogram. Resiko perjalanan adalah yang menjadi harga ganja melambung tinggi.

III. Kandungan Ganja

Banyak nama maupun istilah untuk menyebutkan nama tanaman ganja. Cannabis adalah nama latin dari ganja, candu, cimeng, gelek, “rumput Aceh” bakong Aceh”, adalah nama-nama yang diberikan oleh pemakainya untuk mengaburkan nama sebenarnya. Ganja Aceh memang primadona bagi pemakai (penyalahgunaan). Menurut beberapa sumber ganja Aceh berkualitas sangat baik di dunia. Tanaman yang diharamkan ini sebenarnya memiliki banyak manfaat, hanya orang-orang yang salah kaprah dalam pemanfaatan tanaman ini sehingga timbul penyalahgunaan yang berakibat bukan saja pada pribadi pemiliknya, tetapi juga orang lain bahkan kerusakan generasi muda di sebuah negara bisa saja terjadi karena ganja.

Tanaman ganja mulai dari akar, batang, daun hingga ranting merupakan bahan istimewa untuk pembuatan kertas dan kain. Selain itu bijinya bisa digunakan sebagai bahan bakar minyak, baik langsung, maupun diubah melalui proses pirolisis menjadi batu bara, metana, methanol. Ganja jauh lebih baik daripada minyak bumi karena bersih dari unsur logam dan belerang, jadi lebih aman dari polusi. Lebih dari itu, biji ganja bergizi, dengan protein berkualitas tinggi, lebih tinggi dari kedelai. Bukan hanya sebatas itu, bahkan serat tanaman ganja jenis hemp pernah dipakai untuk tali pengikat kapal perang Tentara Armada Laut Amerika Serikat pada Perang Dunia II. Seiring perkembangan dunia industri, negara-negara maju, seperti Tasmania, salah satu negara yang tergolong paling besar memanfaatkan potensi ganja. Negara itu memanfaatkan ganja dengan menurunkan kadar THC (Tetrahydro-cannabinol) untuk memproduksi bahan tekstil, kertas, bahan pembuat makanan, tapak rem dan kopling hingga untuk tali.

Sementara di Inggris terdapat pusat pengelolaan mariyuana atau ganja. Lembaga itu meneliti tanaman ini secara medis dan farmasi, seperti pasien lumpuh, mengatasi impoten, dan mempunyai daya ingat yang tinggi. D Kanada, pihak pemerintah melegalisasikan ganja untuk farmasi. Dilaporkan telah banyak pasien yang terbantu, seperti mengurangi rasa mual pada penderita AIDS dan penyakit lainnya. Pemerintah Kanada mengijinkan pembelian ganja dengan resep dokter di apotek-apotek lokal. Satu ons dijual sekitar 113 US dollar dan ganja dikirim melalui kurir ke pasien atau dokter mereka.

Menurut para medis, komposisi kimia yang terkandung dalam ganja adalah Cannibanol, Cannabidinol atau THC yang terdiri dari Delta -9- THC dan Delta -8- THC. Delta -9- THC sendiri dapat mempengaruhi pola pikir otak manusia melalui penglihatan, pendengaran, dan suasana hati pemakainya. Sementara Delta -9- THC diyakini para ilmuwan medis mampu mengobati berbagai penyakit. Daun dan biji ganja membantu penyembuhan penyakit tumor dan kanker. Akar dan batangnya bisa dibuat jamu yang mampu menyembuhkan penyakit kejang perut (kram), disentri, anthrax, asma, keracunan darah, batuk, diare, luka bakar, bronchitis. THC sendiri merupakan zat yang dapat menghilangkan rasa sakit, misalnya pada penderita glukoma. THC memiliki efek analgesic, yang dalam dosis rendah saja bisa bikin ‘tinggi’. Bila kadar THC diperkaya, bisa lebih potensial untuk pengobatan. Selain itu di masyarakat tradisonal, ganja dipakai sebagai herbal medicine. Namun bila dipakai sembarangan dan berlebihan, karena sifatnya sebagai alusinogen dapat menimbulkan euphoria sesaat, malas. Efek terburuk dari ganja membuat reaksi pemakai lambat, dan pengganja cenderung kurang waspada. Sebuah fakta lagi, kebanyakan orang takut menggunakan ganja bahkan haram bersentuhan dengannya, padahal ganja banyak dipasarkan dalam kemasan lain yang sering dikonsumsi orang tersebut sehari-hari, misalnya sebagai obat antikantuk, obat pelangsing, obat peningkat kecerdasan, obat kuat seks dan obat untuk menambah kepercayaan diri (konfiden).

Kenyatannya dibalik itu ganja memiliki sifat toksik, yaitu sifat racun yang menyebabkan pusing. Sifat toksik ini terbesar pada bagian tangkai dan bunga. Akibat yang ditimbulkan dari sifat toksik menyebabkan efek dalam tubuh, seperti pusing, mual, kehilangan konsentrasi, susah berjalan, mulut kering, kebingungan, paranoid, inkoordinasi otot, penglihatan kabur, bahkan apabila mengkonsumsi ganja dalam dosis yang berlebihan dapat mengakibatkan induksi koma, hingga gagal jantung dan kanker. Yang lebih menakutkan adalah kehilangan sebagian fungsi otak yang berakhir pada kelainan jiwa. Orang yang mengkonsumsi ganja akan berhalusinasi sehingga cenderung sensitif, berperilaku aneh karena tidak dapat berkonsentrasi, akhirnya orang ini akan menjadi malas. Pengaruh ganja berbeda-beda pada setiap orang. Merokok ganja akan menimbulkan reaksi 10 sampai 20 menit setelah menggunakannya, efek mabuk dan candu yang paling keras adalah ganja yang berasal dari Aceh, dalam perdagangan ganja dianggap tipe A. Dari berbagai kondisi ganja antara manfaat dan mudarat, yang jelas apabila ganja diberlakukan dengan benar akan memberikan manfaat, namun sebaliknya mengapa ganja menjadi haram, karena ini tidak lepas dari sifat toksiknya. Orang akan menjadi cepat marah sehingga mudah sekali menimbulkan kegaduhan. Orang menjadi malas sehingga akan menghasilkan generasi yang apatis, tidak memiliki etos kerja dan tidak pernah serius karena semua hanya dalam halusinasi dan mimpi-mimpi si pemakai ganja. Kehilangan konsentrasi juga mengakibatkan mudahnya orang cilaka baik si pemakai sendiri maupun mencederai orang lain.

Ganja bukan saja menjadi permasalahan lokal di daerah, tetapi ini adalah bentuk jaring laba-laba antara petani, pegedar dan pemakai. Semua level sosial masyarakat ada di dalamnya.ini perlu penanganan serius, sehingga bukan hanya pihak kepolisian yang berperan aktf dalam pemberantasan narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN) juga dibentuk guna mengani berbagai permasalahan penyalahgunaan narkotika di nusantara

III. Gerakan Anti Ganja

Masyarakat Provinsi Aceh perlu memperoleh dorongan mengubah perilaku dari menanam ganja ke Program Alternatif Pembangunan (Alternative Development Program). "Program alternatif perlu disosialisasikan lagi dan harus didorong untuk tidak menanam ganja dapat menghasilkan dengan menanam tanaman yang lain," kata Kapolda Aceh Irjen Aditya Warman di Aceh Besar. Pemerintah Aceh bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan yayasan Thailand meluncurkan Program Alternatif Pembangunan melalui tanaman yang lebih produktif di daerah Aceh.

Kegiatan ini antara lain menanam berbagai pohon seperti mahoni, jati, rambutan, mangga dan lain-lain sebagai pengganti ganja pada lahan seluas 7 hektar yang sudah disiapkan di desa Leubok Puni Kecamatan Kuta Malaka Aceh Besar pada akhir Mei 2009. Wacana kegiatan memberantas ganja melalui program pemberdayaan masyarakat dengan tanaman produktif dan ekonomis Menurut Bupati Aceh Besar Tgk. Bukhari Daud, diharapkan masyarakat wilayah tersebut tidak bergantung lagi pada tanaman “haram”. Program yang dikemas dengan Alternative Development (AD) tersebut sebagai upaya pemberantasan narkoba dan ketergantungan warga untuk menanam ganja.

Wakil Gubernur Muhammad Nazar yang juga ketua BNP Aceh mengatakan bahwa selama ini ganja bisa tumbuh sendiri di hutan-hutan atau sengaja ditanam dan dirawat. Ganja tidak hanya disalahgunakan oleh orang-orang kota, tetapi juga masyarakat pedesaan. Kasus narkoba di Aceh meningkat dari tahun ke tahun. Kalau tahun 2006 hanya 101 kasus, namun tahun 2007 meningkat tajam menjadi 600 kasus. Anehnya pemakai narkoba tidak saja kaum laki-laki, ternyata juga kaum perempuan. Oleh karena itu Wagub berharap kepada seluruh komponen masyarakat Aceh agar bersatu padu memberantas penyalahgunaan narkoba, termasuk para khatib untuk menyisipkan materi khutbah dengan bahaya narkoba, dengan satu persepsi untuk “mengharamkan” ganja.

Alternative Development atau pembangunan alternative adalah suatu upaya untuk mencegah dan memusnahkan penanaman tanaman-tanaman yang mengandung narkotika melalui kebijakan pembangunan yang dirancang khusus dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Upaya pemerintah dengan program Alternative Development, dalam masa 15 tahun mendatang diharapkan Aceh bisa bebas ganja, dan masyarakat punya alternatif usaha lain yang juga menguntungkan. Ini tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Ibarat selama ini orang sudah terbiasa naik mobil ilegal, lalu tiba-tiba ditawarkan sepeda motor. Pasti orang senang naik mobil butut ketimbang sepeda motor. Artinya memberi alternatif kepada masyarakat tentu saja yang realistik dan meyakinkan. Tidak sekedar seremonial, lalu kemudian hilang tak berlanjut dengan gerakan-gerakan yang telah diagendakan. Kita khawatir, kalau proram ini masih belum terkoordinasi dengan baik di lapangan, maka masyarakat kembali akan menanam ganja sebagai jalan pintas meski beresiko besar. Apalagi usaha yang bertentangan dengan hukum ini ikut bermain oknum tertentu di belakangnya. Program Alternative Development, telah sukses dilaksanakan di berbagai negara seperti Thailand. Keberhasilan itu tidak terlepas kerja keras dan dukungan setiap komponen masyarakat.

Agar ganja Aceh bisa hilang secara perlahan-lahan dan tidak ditanam lagi oleh masyarakat, maka perlu kesamaan persepsi antar berbagai komponen, mulai pemerintah, ulama, lembaga pendidikan dan masyarakat. Yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat yang selama ini bergantung hidup dari ganja dapat diyakinkan dengan usaha lain yang lebih bermartabat. Jika mereka diberikan kegiatan di bidang usaha pertanian misalnya pada tahun pertama dan kedua pemerintah menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan seperti bibit, pupuk dan obat-obatan. Jenis tanaman yang diusahakan pun selain tanaman keras, juga ada palawija atau tanaman semusim, sehingga dalam kurun waktu tiga bulan sudah dapat dinikmati hasilnya sembari menunggu hasil tanaman keras yang relatif lama sekitar 4-5 tahun.

Pengalaman sebelumnya, banyak program pemerintah yang digulirkan dengan dalih pengentasan kemiskinan, akhirnya gagal karena tidak jeli melihat permasalahan di lapangan termasuk mengikutsertakan masyarakat sebagai subjek. Program ini memang membutuhkan kerja keras, karena merubah perilaku manusia dari pekerjaan yang mudah menjadi sulit, meningkatkan etos kerja dan meninggalkan budaya malas. Program tersebut memang suatu perubahan budaya yang luar biasa karena perlu dukungan penuh dan terkoordinir baik dari pemerintah, penegak hukum dan masyarakat yang akan mengawasi sendiri dengan kesadaran penuh.

IV. Pelarangan Ganja dan Hukum yang Berlaku

Mengapa ganja dilarang? Inilah petanyaan yang belum dimengerti masyarakat luas. Padahal berbagai kampanye telah dilakukan, bahkan pemerintah sendiri pun telah mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi sampai tahap konsumsi ganja. Undang-undang No. 22 1997 tentang narkotika mengklasifikasikan ganja; biji, buah, jerami, hasil olahan atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasil sebagai narkotika golongan I yang berarti satu kelas dengan opium dan kokain.

Pasal 82 ayat 1 butir a UU tersebut menyatakan bahwa mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan denda paling banyak satu milyar rupiah. pasal 85 KUHP tentang pemakaian narkoba akan diancam dengan hukuman 4 tahun penjara dan pasal 78 tentang kepemilikan psikotropika dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara. Namun hukuman ini masih kurang efektif karena semakin hari semakin banyak masyarakat yang terlibat narkoba. Namun hasilnya semakin hari semakin marak peredaran ganja dan pengembangannya di masyarakat.

Di dalam Islam sampai Abad Ketiga Hijriah, fiqh tidak pernah berbicara soal ganja. Yang pertama kali mengeluarkan fatwa tentang ganja adalah Imam al-Muzanni, murid dari Imam al-Syafi’i (175-264 H). Fatwa al-Muzanni merupakan reaksi ulama atas semaraknya fenomena zat adiktif ini dalam kehidupan masyarakat di Iraq waktu. Al-Muzanni mengeluarkan fatwa haram terhadap ganja, meskipun sebelumnya belum ada ulama (baik Abu Hanifah, Malik atau Syafi’i) yang mengharamkannya, karena memang pada masa mereka ganja belum umum dikonsumsi.
Pada masa al-Muzanni fenomena ganja mencapai eskalasi yang sangat menghawatirkan. Akhirnya, murid al-Syafi’i itu menyatakan bahwa ganja haram dikonsumsi. Fatwa dari al-Muzanni ini sempat ditentang oleh oleh Asad bin Amr, murid Abu Hanifah. Asad menyatakan bahwa ganja boleh dikonsumsi. Tapi, akhirnya semua ulama sepakat bahwa ganja haram dikonsumsi, karena telah membawa malapetaka yang sangat besar terhadap masyarakat. Konon, pada masa itu ganja telah umum dikonsumsi masyarakat. Sehingga sangat banyak orang yang kecanduan dan mengalami gangguan pikiran. Bahkan, para cendekiawan banyak yang linglung. Orang-orang pintar banyak yang tak waras gara-gara ganja. Akhirmya, para ulama di Transoxinia (Ma Wara’a al-Nahr) bersepakat mengharamkannya, sesuai dengan fatwa al-Muzanni. Ulama di kala itu juga mengeluarkan fatwa agar daun ganja dibakar; uang hasil transaksi ganja haram; penjual dan orang yang mengkonsumsi ganja harus diberi hukuman; orang yang melakukan talak pada saat sakau oleh ganja, talaknya jadi meskipun ia sedang tidak sadar.

Di Aceh ganja dulu dijual bebas di pasar, digantung-gantung di kios, di gerobak-gerobak penjaja sayur. Ganja mulai dilarang ketika Hoegeng menjadi kepala pemerintahan Kolonial Belanda untuk wilayah nusantara. Ia ingin tahu penyebab pemuda Aceh bermalas-malasan yang dinilai merugikan ekonomi Kerajaan Belanda. Lalu dia menyamar, pergi ke kampung-kampung dan ketemulah jawaban bodohnya, karena ganja. Hingga kini perusakan itu semakin nyata sehingga baik dari segi hukuminternasional maupun agama pantslah pelarangan ini berlaku.

V. Penutup

Akhirnya dari semua fenomena di atas, pantas kita berpikir apa sebab ganja tak habis-habisnya di Aceh?, mengapa para penyalahguna sangat mengaharapakan ganja di Aceh tetap ada?. Ada dua kutub yang saling berlawanan tentunya, di satu sisi ganja memberi kontribusi perekonomian masyarakat yang menanamnya, disisi lain kehadiran ganja yang disalah guna menghancurkan generasi atau masyarakat secara luas. Tulisan ini ditutup dengan hukum yang menaungi penyalahgunaan ganja, akhirnya jelas kita berkesimpulan hakikatnya ganja adalah barang haram yang tetap harus dijauhi dan diberantas.

Rabu, 03 Juni 2009

GAJAH DALAM SEJARAH ACEH

Hewan Gajah di dunia banyak terdapat di Asia dan Afrika . Hewan ini sangat besar bisa mencapai ukuran 3 sampai 5 meter dengan berat bisa mencapai 2 ton dan usianya bisa mencapai 150 hingga 200 tahun. Hewan gajah di beberapa masyarakat Asia Tenggara dianggap binatang yang memiliki keramat contohnya pada masyarakat Thailand hingga kini selain gajah disimbolkan sebagai lambang Negara, gajah-gajah juga dipelihara bukan sekedar sebagai atraksi pariwisata tetapi pemelihara gajah juga bentuk pengabdian kepada pencipta.

Apa kaitan antara hewan gajah dengan sejarah Aceh bahkan Kodam Iskandar Muda hingga saat ini menggunakan lambang gajah Putih. Diantara hewan-hewan yang sering disebut sebagai peliharaan kerajaan, gajah adalah hewan yang melegenda di kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh. Berikut kutipan tentang gajah yang pernah ada dalam sejarah Aceh :

Menurut catatan ahli sejarah purbakala dipermulaaan tahun Masehi ahli geografi dari bangsa Griek dan Rome dalam lawatannya mengunjungi daerah-daerah India Belakang hingga sampai ke kepulauan nusantara. Ketika mereka sampai ke daerah Ujung Sumatera disana didapati sebuah kerajaan yyang teratur, dimana rajanya mengendarai gajah dan memakai mahkota yang besar di kepalanya yang dibuat dari pada emas dan perhiasan batu permata. Mereka menamai kerajaan itu dengan nama Tabrobane.

Dalam tahun 500 Masehi, pernah didapati oleh pengembara-pengambara asing yang pernah mengunjungi ujung utara Pulau Sumatera disana didapati sebuah kerajaan yang bernama Poli rakyatnya beragama Budha rajanya mengendarai gajah. Raja itu dari dinasti Liang.

Dalam kitab Rahlah Abu Ishak Al Makarany disebut dalam tahun 540 H. = 1146 M. Di daerah Peureulak telah terdapat sebuah kerajaan Islam Sultan yang memerintah bernama dan bergelar Sultan Machdoem Johan Berdaulat Malik Mahmud Syah. Kelebihan dan kemegahan Sultan ini antara lain Baginda mengendari Gajah yang berhias emas yang berwarna warni Sultan ini memerintah dalam tahun 527-552 H = 1134-1158 M.

Dalam tahun 665 H. = 1265 M. Marcopolo pernah datang ke negeri Samudera (Pase) dalam masa pemerintahan Sultan Malikus Saleh (Meurah Siloo) dimana didapati Sultan Malikusaleh selain mempunyai tentara berkuda yang banyak juga baginda mempunyai kenderaan gajah. Dalam tahun 744 H = 1345 M. seorang pengembara Arab yang bernama Ibnu Batuttah mengunjungi kerajaan Samudera Pase dalam masa pemerintahan Sultan Ahmad Malikul Dhahir bin Sultan Muhammad Malikul Dhahir bin Sultan Malikus Saleh Meurah Siloo, yang memerintah dalam tahun 725-750 H. = 1326-1350 M. Ibnu Batutah menulis dalam bukunya yang bernama Rahlah Ibnu Batutah tentang kedatangannya ke negeri Samudera /Pase sambutan dari kerajaan begitu meriah terhadap tamau kerajaan masjid dan para ulamamnya begitu agung Diantara kebesaran dari kerajaan Samudera adalah ia memiliki 2000 laskar berkuda yang pakaian penunggangnya serba emas dan perak juga didapati 300 tentara gajah yang lengkap dengan perhiasan dan persenjataannya. Ibnu Batutah bemukim di negeri Samudera dan dapat menyaksikan bermacam-macam upacara kerajaan. Beliau menegaskan yang dapat menyerupai kerajaan Samudera /Pase adalah kerajaan Delhi (India).

,,Slaan wij met Valentijn, een blik op het Koningkrijk van Atsjeh, gelijk hij het noemt, dan moet de Beheerscher dc grootste Vorst van geheel Soematra geweest zijn, wiens titels, onder anderen, dus luidden : ,,Een Koning, die bezit dan getanden olifant, den rooden, den gekleurden, den zwarten, den witten, den gespikkelden olifant ; een Koning wien God-almagtig schenk kleeding voor de olifanten, met goud en edelgesteenten versierd, benevens een groot aantal strijdolifanten, met ijzeren huizen op hunnen rug, wier tanden met ijzeren scheden overtrokken, en die met operen schoenen gewapen zijn". ( Artinja : ,,Pandangan kami bersama-sama dengan tuan Valentijn, selayang pandang pada Kerajaan Aceh, sesuai dengan apayjang disebutnya, maka sebenarnyalah, bahwa yang berkuasa itu adalah ,,Maharaja jang terbesar di seluruh Sumatra, yang gelarannya antara lain, berbunyi sebagai berikut: “ Seorang Raja, yang mempunyai gajah yang bergading, yang berwarna, yang mewah, yang hitam, yang putih dan yang belang ; Seorang Raja yang kepadaya dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa memberi pakaian gajah-hajah itu dengan perhiasan emas dan batu permata (ratna mutu-manikam), juga sejumlah besar dari gajah peperangan, dengan kereta kencana di atas punggungnya, yang gading-gadingnja bersalutkan besi dan diberi sepatu tembaga. [1]
Selanjutnya Valentijn menyebut dalam bukunja tentang tinjauannya terhadap Kerajaan Aceh antara lain : Sultan Aceh mempunyai 40-50 ribu angkatan perang yang dapat dikerahkan ke medan perang dengan 2-3 ribu pucuk meriam yang dapat dibawa bersama, serta lengkap dengan mesiu dan peluru pelurunya. Juga Sultan Aceh (keradjaan Aceh), benar mempunyai 1000 ekor gajah yang dapat dipergunakan dalam peperangan, dan 200 kapal perang yang telah diturunkan ke air yang lengkap dipersenjatai de­ngan meriam-meriam dan alat perang lainnja.[2]


JENIS GAJAH DI ACEH

Di India jenis gajah dibagi kepada 3 jenis yang dinamai : KOEMIRA, DEWASALA dan MIERGA, maka di Aceh dalam gajah-gajah itu dibagi atas 4 jenis yang dinamai :
1. GAJAH MOENDAM
yaitu gajah yang badannya besar panjang, punggungnya ti­dak bungkuk, bentuk tubuhnya cantik, bagian depan dan ekornya sama tinggi. Daun telinganya tidak begitu lebar dan, lembut. Pandangan matanya lembut dan jinak. Jenis gajah ini cepat jinak, mudah diajar dan patuh, akan ajaran. Tahan lapar, ti­dak mudah berontak. Setia dan membela kawan, pekerjaannya sangat teratur dan tidak merusak. Tinja dan air seninya berwaktu dan tetap(tidak berserak-serak) tidak mau menabrak pagar dan dinding walaupun dipaksa, senantiasa mencari jalan yang biasa dilalui dan dicarinya pintu walaupun berkeliling jalannya. Suka kepada bunyi-bunyian dan perhiasan. Gajah ini sering dipergunakan dalam upacara kebesaran dari pasukan pengiring raja-raja.
2. GAJAH BUGAM
yaitu sebangsa gajah yang badannya tinggi besar dan pendek badannya, punggungnya bungkuk.

3. GAJAH SIAWANG
yaitu gajah yang badannya kecil dan pendek, bulunja kemerahan. Gajah ini liar, sukar diajar, malas dan suka berontak. Sangat rakus dan merusakkan tanaman. kedua macam gajah ini (gajah Bugam dan gajah Siawang), kebanyakan dipergunakan untuk gajah peperangan dan dalam pekerjaan yang kasar.
4. GAJAH KENG
yaitu sebangsa gajah yang depannya lebih tinggi dari ekornya, daun telinganya kaku dan lebar melewati kepalanya, bulunja kemerah-merahan. Gajah ini tidak suka berkawan, sangat liar dan amat jahat perangainya. Gajah ini tidak dapat dipergunakan dimana-mana.
Dalam masyarakat Aceh, ada kata-kata yang tertentu untuk menyebut gajah ; Pomeurah, Pobeuransah, Teukoe-rajeuk, dan Tanoh-manjang.

[1] Dr. W.A., Het gezantschap van den Sultan van Achin hlm. 19,20,21. Ulasan ini juga dapat dibaca dalam tulisan M. Junus Djamil, Gajah Putih Iskandar Muda, diterbitkan oleh Lembaga Kebudajaan Atjheh, Kutaraja 1958. hlm. 59-61.
[2] Ibid.