Jumat, 02 November 2012

PERANG SUNGGAL (1872-1895) (Tinjauan Historis Terhadap Masalah Konflik Tanah di Sumatera Utara)



I. Pendahuluan
 
 Sejarah mencatat, apa yang dilakukan Sultan Deli dengan menyewakan tanah komunal kepada perusahaan perkebunan swasta asing menuai konflik berdarah. Pada tahun 1870, Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam memberikan tanah subur di wilayah Sunggal, yang membentang dari Pancur Batu di Kabupaten Deli Serdang hingga di pinggiran Selatan Kota Medan, sebagai wilayah konsesi perusahaan perkebunan tembakau De Rotterdam dan Deli Maschapij. Pemberian tanah ini tanpa melalui perundingan dengan penguasa serta rakyat di wilayah Sunggal sehingga menimbulkan konflik bersenjata. Datuk Badiuzzaman Surbakti, pemimpin masyarakat Sunggal, pada tahun 1872 mengadakan perlawanan atas tindakan sepihak Sultan Deli. Perang pun pecah antara Sultan yang didukung Belanda dan masyarakat Sunggal yang dipimpin Badiuzzaman Surbakti.
Perang ini berlangsung dalam kurun waktu 23 tahun, dari tahun 1872 hingga 1895. Sejarah mencatat sengketa tanah ini sebagai Perang Sunggal. Perang ini menjadi penanda dimulainya sengketa tanah di Sumut yang melibatkan rakyat dengan perusahaan perkebunan. Perang ini mempunyai dua nama yaitu 'Perang Sunggal' dan 'Perang Batak'. Penamaan 'Perang Sunggal' muncul karena perang ini terjadi di daerah Sunggal,[1] tempat tinggal masyarakat Melayu dan masyarakat Karo ketika itu. Perang ini disebut Belanda juga dengan 'Perang Batak' atau Batak Oorlog karena medan pertempurannya kebanyakan berada di pegunungan yang didiami oleh masyarakat Batak-Karo.

II.  Pemberontakkan Rakyat Sunggal

                Dibukanya penanaman tembakau  secara besar-besaran oleh Nienhuys tahun 1863 di sekitar kota Medan  sebagai awal dari permasalahan pertanahan di Sumatera Timur pada masa Kolonial Belanda bahkan hingga sekarang ini.  Timbulnya perkebunan-perkebunan tembakau menyebakan banyaknya tanah yang berada di bawah kekuasaan Urung Empat Suku yang berkuasa di sekitar Medan dijadikan kebun tembakau.
                Pemberian konsesi tanah-tanah oleh Sultan Deli tidak dilakukan dengan jalan musyawarah dengan para pemimpin urung sedangkan dalam tata karma Kerajaan Deli kedudukan datuk  pimpinan urung  sangat menentukan dalam pemerintahan. Kondisi ini merupakan pelanggaran adat istiadat dan tradisi kerajaan Deli, terutama dalam masalah penyewaan tanah-tanah yang berada dalam wilayah urung tersebut. Seluruh pelanggaran terhadap adat istiadat ini  terjadi pada masa pemerintahan Datuk Kecil, yaitu datuk yang menguasai  Urung Sunggal  dan lebih dikenal dengan nama Datuk Sunggal. Pada masa pemerintahan inilah terjadi pertumbuhan perkebunan Belanda sekitar Kerajaan Deli. Pertumbuhan perkebunan-perkebunan tersebut melahirkan kegoncangan-kegoncangan dalam kehidupan masyarakat di Kerjaan Deli terutama pada daerah Urung Empat Suku atau disebut kemudian daerah datuk-datuk yang empat.
Kegoncarigan itu disebabkan rakyat Sunggal melihat di sekeliling mereka Deli dan langkat : tanah-tanah rakyat yang subur diberikan untuk konsesi perkebunan tembakau kepada maskapai-maskapai asing sedang keuntungan tidak diberikan kepada rakyat di situ, mulailah Sunggal berjaga-jaga dan menentang cara-cara itu…[2]
Contoh di atas merupakan suatu gambaraan dari keadaan di urung yang dikuasai oleh Datuk Sunggal. Perasaan tidak puas rak­yat pada daerah tersebut juga disebabkan oleh perusakan tata kehidupan masyarakatnya. Sejak adanya perkebunan-perkebunan di sekitar kediaman penduduk, lahirlah suatu kelompok masyara­kat yang asing bagi penduduk. Belanda mendatangkan buruh-buruh dari Negari Cina dan India untuk pembukaan perkebunan tembakau itu. Kehidupan masyarakat asing yang berada di dekat desa-desa penduduk sering melahirkan gangguan-gangguan pada desanya seperti kebiasaan berjudi, minuman keras, dan lain-lain. Hal inilah yang sangat menggelisahkan penduduk. Seluruh keadaan ini diharapkan penduduk dapat diakhiri dengan melenyapkan pengaruh Belanda dari daerahnya melalui perlawanan bersenjata. Datuk Sunggal mengetahui bagaimana perasaan rakyatnya pada waktu itu sehingga ia mengadakan persiapan-persiapan untuk mengusir Belanda dari daerahnya dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan dan mengadakan kesiapsiagaan pasukannya. Tindakan dari Datuk Sunggal itu mendapat dukungan dari masyarakat Batak Karo di Pegunungan, karena penduduk yang mendiami daerah urung empat suku itu adalah suku bangsa Karo yang masih mempunyai ikatan keluarga walaupun mereka te­lah memeluk Agama Islam.
Layaknya wilayah lain di Nusantara, dahulu rakyat Sumatera Utara tak pernah mengenal kepemilikan individual atas tanah. Kedatangan Belanda yang membuka perusahaan perkebunan menandai dimulainya era kepemilikan individual itu.
Melihat kesiapsiagaan Datuk Sunggal tersebut, Belanda yang mempunyai kepentingan dalam penanaman modalnya di Deli segera mendatangkan pasukannya dari Jawa sebelum keadaan tersebut menjadi lebih parah. Pada 15 Mei 1872 datanglah pasukan ekspedisi Belanda yang pertama dipimpin oleh Kapten W. Koops. Belan­da bersama dengan pasukan Kerajaan Deli sebagai penunjuk jalan, mulai melakukan penyerbuan ke daerah perbentengan Sunggal sehingga terjadilah Perang Sunggal. Dalam peperangan ini para pejuang dari Datuk Sunggal tidak hanya bertahan tetapi juga me­lakukan penyerangan-penyerangan. Mereka membakar bangsal-bangsal tembakau dan mengganggu pekerjaan buru-buruh perkebunan agar apa yang diharapkan Belanda tidak dapat tercapai.[3]
Disebabkan serangan-serangan ini pihak perkebunan Belanda mengalami kesulitan. Pasukan ekspedisi yang didatangkannya tidak dapat mengatasi keadaan. Bahan makanan yang selama ini didatangkan dari daerah pedesaan tidak dapat masuk ke kota dan perkebunan. Untuk mengatasi ini Belanda terpaksa mendatangkan beras dari Penang. Sementara itu kegiatan dari pejuang-pejuang Datuk Sunggal melahirkan perang urat syaraf sehingga Belanda harus terus-menerus berjaga-jaga.
Diantara serangan-serangan yang dilakukan oleh rakyat Sunggal yaitu  dilakukan di daerah Rantau Betul, Timbang Langkat, rakyat membuat lombang-lobang pesembunyian dan ranjau untuk serdadu Belanda akibatnya  berjatuhan korban di pihak Belanda. Namun untuk mencari gerilyawan Sunggal Belanda membumihanguskan kampung-kampung di sekitar Sunggal. Rakyat juga menyerang rumah-rumah administrateur perkebunan dan membakarnya sehingga Belanda mengungsikan para administrateur dan keluaranya ke daerah-daerah yang aman.[4] Perang ini mendapat perhatian serius dari Kerajaan Belanda karena  perlawanan rakyat yang meluas hingga daerah pegunungan Karo dan hampir seluruh Sumatera Timur  harus segera dipatahkan.
Untuk mempercepat berakhirnya perang ini Belanda mengirim lagi ekspedisinya yang kedua. Pasukan ini lebih banyak dari yang pertama serta dipimpin oleh Letnan Kolonel Von Homracht. Persenjataannya lebih lengkap dari pasukan pertama karena dilengkapi oleh artileri berkuda. Pasukan ini bertujuan untuk mengadakan penyerahan ke kubu-kubu pertahanan Sunggal, Perlawanan Datuk Sunggal yang dibantu oleh penduduk pe­dalaman itu sangat memusingkan Belanda sehingga Belanda mencoba untuk mencari kubu-kubu pertahanan Sunggal. Untuk tujuan tersebut diperlukan meriam-meriam yang dapat menghancurkan kubu-kubu tersebut. Walaupun demikian perlawanan dari pasukan Sunggal tidak dapat dipatahkan oleh Belanda. Berbagai siasat dilakukan Belanda untuk mengamankan daerah sekitar Deli, tetapi tidak membawa hasil. Dengan suatu tipu muslihatnya Belanda mengajak Datuk Kecil atau lebih terkenal lagi dengan Datuk Sunggal untuk berunding menyelesaikan segala perbedaan pendapat.
Usul itu disetujui oleh Datuk Sunggal dan perundingan dilaku-kan pada 25 Oktober 1872. Dalam perundingan itu Belanda mela­kukan suatu tindakan yang licik. Perundingan tidak diadakan, dan Belanda mengatakan bahwa Datuk Sunggal sekarang menjadi tawanan Belanda. Tindakan Belanda yang merupakan tipu muslihat ini berhasil dan Datuk Sunggal bersama putera-puteranya kemu­dian dibuang ke Cilacap berdasarkan putusan dari Gubernur Jenderal Belanda yang berkedudukan di Batavia.[5]
Dengan ditawannya Datuk Kecil maka Datuk Badiuzzaman juga ditangkap dengan tipu muslihat Belanda dan dibuang pula ke Cianjur. Dengan ditangkapnya tokoh-tokoh Perang Sunggal ini Perang Sunggal pun berakhir pada tahun 1873, tetapi secara kecil-kecilan masih terus terjadi perlawanan terhadap Belanda tidak saja di Deli tetapi juga dibagikan lain dari wilayah Sumatera Timur, misalnya di Asahan dan Sumalungun seperti telah diuraikan di atas. Untuk mengamankan daerah perkebunan yang vital di Suma­tera Timur terutama di Deli, pihak perkebunan Belanda mengusulkan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar suku-suku itu dipecah-pecah sehingga mudah dapat dikuasai. Daerah Deli yang banyak hubungannya dengan daerah Karo di pegunungan dipecah karena mereka itu sebenarnya satu keturunan.
Untuk   melakukan  hal itu perlu  dipercepat pengembangan Agama Kristen di daerah tersebut. Pemisahan satu suku tersebut dalam dua agama yang berlainan memudahkan Belanda untuk menguasai daerah ini sehingga  perkebunan Belanda dapat aman. Usul ini   dapat diterima Belanda sehingga setelah peperangan yang melanda daerah Sumatera Timur dan Tapanuli berakhir, Belanda mengirimkan missi Nederlandsche Zending Genvotschap untuk mengembangkan Agama Kristen di Dataran Tinggi Karo.[6] Jurang pemisah itu semakin meluas karena di daerah pesisir Belanda mendukung tindakan kebijaksanaan raja-raja yang hanya meneri-ma pegawainya tidak bermarga. Penduduk pesisir kemudian menanggalkan marganya agar dapat menjadi warga dari kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur seperti Deli, Serdang dan Langkat. Keadaan ini melahirkan pertentangan antara penduduk pantai dengan daerah pedalaman, tetapi dengan politih pecah belah Belanda berhasil berkuasa di daerah Sumatera Timur.

III. Dari Perang Sunggal Hingga Sengketa Tanah

                Telah diulas di atas kedatangan Nienhuys, pengusaha onderneming (perkebunan) asal Belanda ke tanah Deli, yang sekarang menjadi wilayah kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, pada Juli 1863 dianggap sebagai awal mula dari carut-marutnya sengketa tanah di Sumut.[7]
Menurut Saidin sultan atau ketua masyarakat adat menyewakan tanah-tanah tersebut dengan tenggang waktu selama 75 hingga 99 tahun. Sultan bertindak atas nama masyarakat hukum adat dan diketahui gubernur jenderal sebagai wakil Kerajaan Belanda di Hindia Timur.  Ahli hukum agraria dari Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Dr Muhammad Yamin Lubis, mengungkapkan, tindakan Sultan Deli menyewakan tanah adat ke perusahaan swasta asing telah mengubah konsep kepemilikan tanah di wilayah Kesultanan Deli.
”Seperti juga di wilayah lain di Indonesia, di Deli tanah itu milik Tuhan yang diberikan kepada rakyat. Atas nama rakyat, raja kemudian mengorganisasinya. Kepemilikan tanah tetap atas nama rakyat, hanya saja yang mengorganisasi raja. Ini berbeda dengan hukum agraria Barat, di mana raja adalah pemilik keseluruhan tanah,"[8]
 Konsep hukum agraria Barat yang dibawa ke Deli dimulai saat perusahaan perkebunan swasta menyewa tanah langsung dari sultan tanpa melibatkan rakyatnya. Perusahaan perkebunan ini menyewa tanah langsung ke raja, padahal rakyatlah yang punya. Mereka membuat kontrak dengan raja sendirian. Hak-hak kepemilikan tanah mulai terindividualisasi. Jika masyarakat ingin diakui sebagai pemilik sah atas tanah, mereka harus mendaftar dan memiliki surat atau sertifikat, ujarnya.
Menurut Yamin, hukum agraria Barat yang dibawa Belanda juga memperkenalkan masyarakat Deli dengan konsep hak ulayat. Setelah tanah komunal mereka disewakan sepihak oleh sultan, perusahaan perkebunan memberikan tanah untuk dikelola rakyat. Tujuannya agar rakyat tidak merambah tanah yang telah dikonsesikan kepada perusahaan perkebunan. Ketika Jepang menjadi penguasa di tanah Deli, hampir tak ada aturan soal tanah. Baru setelah Indonesia merdeka, negara mulai mengurus bukti kepemilikan tanah masyarakat maupun perkebunan.
Di Sumatwera Utara setelah terbit Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Pemakaian Tanah oleh Rakyat, pemerintah mulai mengatur bukti penguasaan tanah bekas perkebunan swasta asing oleh masyarakat. Masyarakat mengenal kartu registrasi penggunaan tanah (KRPT), surat keterangan tanah (SKT), girik, hingga Ipeda. Di Sumut, selain surat tersebut, ada juga Grant C (controleur), bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan perkebunan kepada rakyat; Grant Deli Maschapij, bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan perusahaan tembakau Deli Maschapij; dan Grant Sultan, bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan sultan kepada rakyat, akan tetapi surat tersebut tak beraturan. Ada yang keluar di atas tanah yang bukan haknya. Setelah terbit UU No 5/1960 tentang Agraria, negara memberikan kesempatan kepada pemilik surat tersebut untuk mengonversi hak mereka atas tanah dengan sertifikat, baik sertifikat hak milik, sertifikat hak guna bangunan, maupun sertifikat hak guna pakai.
Namun, yang terjadi sebelum ada konversi, tanah ini sudah diperjualbelikan dan itu tidak di lembaga yang ditunjuk UU. Akibatnya, sampai sekarang di Medan, SK Camat hampir rata menjadi masalah. Padahal, SK Camat itu bukan bukti kepemilikan, hanya surat yang menunjukkan tanah itu terletak di suatu tempat. Mestinya, tanah yang menjadi milik negara dikonversi menjadi hak penguasaan, tanah yang menjadi milik perkebunan dikonversi jadi hak guna usaha (HGU), dan tanah yang menjadi milik rakyat dikonversi jadi hak milik keperdataan. Di dalam kehidupan yang sebenarnya, rakyat kita tak pernah memiliki bukti kepemilikan tertulis. Rakyat juga tak mau berurusan dengan lembaga pemerintah yang mengatur hak mereka, seperti badan pertanahan karena takut bakal dipunguti pajak.[9]

IV. Rakyat vs perkebunan

Kebiasaan rakyat yang enggan memiliki bukti tertulis penguasaan mereka atas tanah menjadi bibit baru sengketa tanah ketika pemerintah menasionalisasi perkebunan swasta asing menjadi perusahaan perkebunan negara (PTPN). Masyarakat Deli yang dulunya diberi hak ulayat oleh sultan dan perusahaan perkebunan swasta asing tak lagi bisa menikmatinya ketika perkebunan negara tak lagi mengakui hak mereka. Rakyat kemudian menuntut haknya. Mereka tak segan menyerobot tanah perkebunan seperti yang terjadi pada konflik masyarakat Melayu Deli dengan PTPN II. [10] Konflik pun meluas, tak lagi antara masyarakat Melayu dan perusahaan perkebunan, seperti PTPN II, tetapi antara bekas buruh kontrak dari Jawa hingga pendatang dari Tapanuli.
Sengketa tanah yang melibatkan bekas buruh perkebunan dari Jawa dengan perusahaan perkebunan, antara lain, terjadi dalam kasus pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu di Deli Serdang. Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) yang banyak mendampingi masyarakat yang berkonflik dengan perkebunan mencatat, sengketa jenis ini terjadi merata di semua wilayah Sumut. 
Di Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, misalnya, rakyat yang dulu membuka hutan dan mendirikan perkampungan sendiri tiba-tiba tanahnya diklaim sebagai bagian dari HGU milik Perusahaan Perkebunan (PP) London Sumatera. 
Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mencatat jenis konflik lain antara petani dan perusahaan perkebunan. Menurut Sekretaris Eksekutif Bakumsu Mangaliat Simarmata, 301 keluarga di Desa Suka Rame dan Desa Sono Martani, Kecamatan Kualu Hulu, harus kehilangan tanah akibat ditipu perusahaan perkebunan PT Sawita Leidong Jaya dan PT Grahadura Leidong Prima. Kedua perusahaan itu menjanjikan lahan garapan baru bagi petani di kedua desa kalau mereka melepas tanah garapannya. Rakyat yang memang menggarap lahan di hutan register 4 mau memberikan tanah garapan mereka kepada kedua perusahaan tersebut. Bupati Labuhan Batu pun memberikan izin prinsip kepada kedua perusahaan membuka perkebunan kelapa sawit di hutan register 4. Namun, janji kedua perusahaan tidak dipenuhi. Rakyat kehilangan tanah garapan. Saat mereka merambah dan merusak kebun sawit kedua perusahaan, polisi pun bergerak. Dua orang warga desa ditahan di Kepolisian Daerah Sumut. [11] 
Kasus lain adalah sengketa tanah Pando Perengan di Afdeling 13 Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun. Masyarakat yang umumnya datang dari Pulau Samosir pada tahun 1950 menggarap bekas perkebunan Belanda yang dibiarkan telantar. Yang mereka garap adalah rawa-rawa yang dikenal dengan istilah Pando dan tanah penghubung dengan daratan yang disebut Perengan karena bentuknya yang landai. Kini lahan yang mereka garap diklaim merupakan bagian dari HGU PTPN III. Mereka yang mencoba menuntut kembali haknya dicap komunis.[12]

VI. Penguasaan hutan

Jenis sengketa tanah lain yang juga terjadi di Sumut adalah penguasaan lahan oleh masyarakat di hutan yang telah gundul oleh pembalak liar. Hardi Munthe dari Walhi Sumut mencatat kasus ini terjadi di hutan register 1 Kabupaten Simalungun. "Sebanyak 56 petani ditangkap polisi dengan alasan merambah hutan. Padahal, hutan yang mereka rambah sudah gundul oleh pembalak liar. Petani yang katanya merambah malah mendapat pembinaan dari dinas kehutanan setempat untuk mengelola hutan. Dengan alasan operasi hutan lestari, mereka malah ditangkap, sementara pengusaha yang dulu membalak sampai sekarang dibiarkan bebas," kata Hardi.
Solusinya, menurut Hardi, rakyat diberi hak pengelolaan hutan. Hardi mengatakan, hampir semua rakyat di Sumut yang tinggal di sekitar hutan punya kearifan lokal. Di Tapanuli Selatan dikenal istilah hutan harangan (larangan), wilayah hutan yang terlarang dieksploitasi warga.  "Pengelolaan hutan bisa sustainable dan rakyat bisa mendapat keuntungan. Di Simalungun, rakyat sudah menanami bekas hutan yang gundul dengan pohon seperti kemiri, mangga, dan durian. Namun, mengapa mereka malah ditangkapi. Dengan tanaman jenis itu, daerah tangkapan air terjaga, sementara rakyat bisa dihidupi. Sementara, kalau pengusaha yang membuka hutan, bakal monokultur dengan ditanami tanaman seperti sawit dan karet," kata Hardi.[13]  

VI. Penutup

                Dalam masyarakat yang plural berbagai hal dapat menjadi dasar terjadinya konflik baik internal maupun eksternal. Contoh kasus dalam uraian tulisan ini akar konflik yang terjadi pada saat ini adalah kelanjutan dari konflik yang terjadi pada abad 19. Perbedaannya adalah pertentangan yang dilakukan oleh rakyat dilakukan oleh masa pemerintahan yang berbeda. Namun bagaimanapun kepentingan rakyat tetap harus diselesaikan seadil-adilnya karena konflik internal maupun eksternal tentu akan merugikan pihak manapun bila tidak diselesaikan secara arif.



[1] Sunggal adalah nama salah satu urung dari empat urung di Kerajaan Deli yang juga sebagai kerajaan penyangga dan pimpinannya menjadi penasehat dalam  menentukan keputusan Sultan Deli. Sedangkan letaknya di sebelah Utara Kota Medan atau saat ini menjadi nama salah satu kecamatan di Kota Medan yaitu Kecamatan Medan Sunggal
[2]Muhammad Said, Koeli Koentrak Tempo Doeloe,  (medan: Waspada, 1977), hlm. 8
[3]SP.Napitupilu, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme di Sumatera Utara, (Medan : Depdikbud, 1991), hlm.84
[4] Tengku Luckman Sinar, Sari Sedjarah Serdang,  (Medan : Penerbit Sendiri, Tanpa Tahun), hlm. 157.
[5] SP. Napitupulu, Op.Cit, hlm. 85
[6] Ibid.
[7]Nienhuys adalah orang yang memperkenalkan tanah Deli ke dunia dengan membuka perkebunan tembakau, yang galur asli daunnya masih terkenal di seluruh dunia hingga kini. Berawal dari keberhasilan Nienhuys inilah, di wilayah Karesidenan Sumatera Timur yang kini menjadi Sumatera Utara mulai berdiri perkebunan swasta asing dengan komoditas lain, seperti karet dan kelapa sawit. Perusahaan swasta asing ini menyewa lahan untuk membuka perkebunan dari sultan dan ketua masyarakat adat melalui akta konsesi.
[8] http//www.yahoo.blok.karo.....24 Oktober 2007
[9] Lebih lanjut dapat dibaca dalam buku K Saidin, Kepala Pertanahan Kesultanan Deli, dalam buku Sengketa Tanah dan Alternatif Pemecahan Studi Kasus di Sumatera Utara (Sumut), atau site : http//www. Block karo...
[10] Ibid
[11] ibid
[12] Peristiwa Bandar Betsy selalu dikaitkan dengan masalah pemberontaan PKI di Sumatera Utara meskipun saat ini telah diulas bahwasanya peristiwa ini lebih cenderung pada masalah sengketa tanah.
[13] Khaeruddin, Dari Perang Sunggal sampai Lahan Kuala Namu (Makalah)