Rabu, 20 Januari 2010

GANJA : TANAMAN SUBUR DI ACEH (Tinjauan Terhadap Julukan Aceh sebagai Penghasil Ganja)

I. Pendahuluan

Dahulu sekitar tahun 90-an, ketika penulis masih di bangku kuliah hal yang paling fenomenal bagi “anak Medan” adalah kumpul, minuman keras dan ganja. Apa yang mungkin disamakan dengan kata “anak gaul”, saat ini maka mereka yang tidak pernah sama sekali menyentuh “barang haram” ini dianggap tidak gaul. Bukan permasalahan anak gaul yang menjadi ketertarikan penulis untuk menuangkan fenomena ini dalam satu tulisan, melainkan “ganja” si daun haram yang menjadi unik untuk dikaji. Ganja Aceh adalah bagian dari stereotipe yang sering dilontarkan anak muda tentang Aceh, julukan ini memang sangat negatif bagi keberadaan Aceh yang juga lebih dikenal dengan Serambi Mekah, namun banyak tulisan bahkan realita yang terjadi bahwa tanaman ini memang tumbuh subur di gunung-gunung atau perbukitan Aceh sehingga hampir setiap hari ada berita di koran tentang penemuan ladang ganja di Aceh, atau tertangkapnya oknum yang membawa ganja dari Aceh.


II. Sejarah Ganja dan Persebarannya

Berdasarakan tinjauan historis, tanaman ganja pertama kali ditemukan di daratan Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina kuno telah mengenal dan memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu. Masyarakat Cina menggunakan ganja untuk bahan tenun pakaian, obat-obatan, terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria. Ganja diolah untuk minyak lampu dan bahkan untuk upacara keagamaan seperti memuja dewa dan ritual kematian. Secara esensial ganja juga dianggap tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh di mana saja karena tanahnya memang cocok. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah yang tidak sesuai dengan kultur tanaman ini. Ganja memerlukan karakter tanah dan faktor geografis tertentu, seperti di Cina, Thailand dan Aceh. Sementara di belahan bumi lainya seperti Eropa, Afrika dan Amerika, ganja juga dapat tumbuh, namun hasilnya tak memuaskan, kecuali harus dengan sentuhan teknologi canggih, itu pun sangat sulit diaplikasikan. Seiring dengan perkembangan dunia medis dan industri, negara-negara maju mulai mempertimbangkan untuk menjadikan serat ganja sebagai bahan minyak bakar karena mudah dan aman dari kebakaran. Serat dari tanaman ini juga lebih kuat dari kapas sehingga dapat dijadikan tali kapal oleh Amerika pada perang dunia II.

Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya. Setalah bertahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh Aceh, ganja mulai dikonsumsi, terutama dijadikan ‘rokok enak,’ yang lambat laun mentradisi di Aceh.

Orang Indonesia mengenal ganja, opium dan barang candu lainnya dalam bentuk tanaman juga sejak perang dunia II. Belanda melegalkan ganja pada masa itu khususnya kepada orang-orang Cina yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang. Mereka biasa menghisap candu dengan menggunakan pipa kecil yang panjang. Belanda memang mensuplay ganja untuk para pecandu ini yang didatangkan dari Aceh. Pada akhirnya Belanda juga mengeluarkan undang-undang untuk menghindarkan pemakaian dan akibat yang ditimbulkan (verdovende middelen ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (state gazette No. 278 juncto 536).

Hingga saat ini Aceh adalah surga bagi tanaman ganja, tanaman ini tersebar di seluruh hutan-hutan lebat di Aceh, bahkan diisukan menjadi ladang ganja terbesar di Acia Tenggara selain Thailand. Kondisi geografisnya yang mendukung, tanah yang subur, hujan yang teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang tidak berubah-ubah, membuat ganja mampu tumbuh subur. Di hutan-hutan Aceh tersebar hampir ribuan hektar ladang ganja. Dari kabupaten Bireun, Aceh Besar (Lam Teuba), Aceh Tengah, Aceh Utara pedalaman dan Aceh Tenggara. Di Kabupaen Bireun disinyalir mempunyai 44 titik ladang ganja yang tersebar di lima kecamatan masing-masing seluas 20-90 hektar, Diantara desa yang memiliki ladang terbesar adalah desa Blang Beruru dan di pegunungan Sarah Kulu Peudada. Aparat kepolisian pernah mensinyalir dua tempat ini sekaligus dengan mengerahkan 100 personil polisi. Jarak tempuh yang berat membuat aparat hanya mendapat 23 hektar ladang ganja di dua lokasi tersebut, 10 hektar di desa Blang Beruru dan 13 hektar di pegunungan Sarah kulu. Meski operasi ini belum sepenuhnyamaksimal, namun hasil yang didapat sungguh melelahkan, karena 23 hektar berarti bisa menjadi 2300 kilogram lebih ganja. Padahal diperkirakan masih ada 30 hektar lagi yang masih harus dibasmi dengan medan yang cukup berat dan personil kepolisian yang terbatas.

Di Aceh Besar sebuah desa bernama Lamteuba menjadi terkenal ke luar Aceh karena kualitas ganja yang baik di pasaran nasional maupun internasional. Ladang ganja di desa Lempuyang Pulau Breuh yang dapat menghasilkan 20 ton ganja setiap kali panen. Rimbunnya pepohonan ganja ini bukan hanya karena daerah ini tidak terjangkau oleh manusia. Ada sebagian masyarakat berpendapat bahwa ganja sebenarnya tidak ditanam atau sengaja dipelihara sebagaimana tumbuhan padi atau palawija lainnya, karena ganja di Aceh bagaikan rumput yang tumbuh subur tanpa harus disemai, disiangi dan diberi pupuk. Biji ganja yang kering saat pecah akan membelah jatuh ke tanah menjadi tumbuhan baru dan tanah Aceh menerimanya. Awalnya bagi masyarakat hanya sebagai tanaman pembunuh hama, bumbu dapur sebagai pelengkap kelezatan makanan dan obat-obatan. Disebabkan harganya yang lebih dari menjual emas, maka mulailah ganja menjadi komoditi eksklusif yang menggiurkan walaupun dengan resiko yang sangat tinggi.

Bagi masyarakat Aceh sendiri penggunaan ganja bagi campuran rokok (tembakau) bukanlah hal yang luar biasa, sebaliknya menjadi pengedar ganja dan sukses itu menjadi pekerjaan yang tidak sembarang orang dapat melakukannya. Ganja harus keluar dari Aceh, karena yang banyak mengharapakan daun ini justru orang-orang dari luar Aceh. Bersusah payah pengedar akan berusaha membawa ganja keluar Aceh, biasanya melalui jalan darat yang harus ditembuh dengan resiko berhadapan polisi atau anjing pelacak. Bagaimana resiko ini tidak ditempuh karena ganja di Aceh harganya 1 kilogram hanya Rp. 200.000, sampai ke Medan menjadi Rp. 700.000 dan di Jakarta atau di Jawa menjadi 2 juta per kilogramnya bahkan jika perons mencapai Rp. 350.000 atau 3,5 juta perkilogram. Resiko perjalanan adalah yang menjadi harga ganja melambung tinggi.

III. Kandungan Ganja

Banyak nama maupun istilah untuk menyebutkan nama tanaman ganja. Cannabis adalah nama latin dari ganja, candu, cimeng, gelek, “rumput Aceh” bakong Aceh”, adalah nama-nama yang diberikan oleh pemakainya untuk mengaburkan nama sebenarnya. Ganja Aceh memang primadona bagi pemakai (penyalahgunaan). Menurut beberapa sumber ganja Aceh berkualitas sangat baik di dunia. Tanaman yang diharamkan ini sebenarnya memiliki banyak manfaat, hanya orang-orang yang salah kaprah dalam pemanfaatan tanaman ini sehingga timbul penyalahgunaan yang berakibat bukan saja pada pribadi pemiliknya, tetapi juga orang lain bahkan kerusakan generasi muda di sebuah negara bisa saja terjadi karena ganja.

Tanaman ganja mulai dari akar, batang, daun hingga ranting merupakan bahan istimewa untuk pembuatan kertas dan kain. Selain itu bijinya bisa digunakan sebagai bahan bakar minyak, baik langsung, maupun diubah melalui proses pirolisis menjadi batu bara, metana, methanol. Ganja jauh lebih baik daripada minyak bumi karena bersih dari unsur logam dan belerang, jadi lebih aman dari polusi. Lebih dari itu, biji ganja bergizi, dengan protein berkualitas tinggi, lebih tinggi dari kedelai. Bukan hanya sebatas itu, bahkan serat tanaman ganja jenis hemp pernah dipakai untuk tali pengikat kapal perang Tentara Armada Laut Amerika Serikat pada Perang Dunia II. Seiring perkembangan dunia industri, negara-negara maju, seperti Tasmania, salah satu negara yang tergolong paling besar memanfaatkan potensi ganja. Negara itu memanfaatkan ganja dengan menurunkan kadar THC (Tetrahydro-cannabinol) untuk memproduksi bahan tekstil, kertas, bahan pembuat makanan, tapak rem dan kopling hingga untuk tali.

Sementara di Inggris terdapat pusat pengelolaan mariyuana atau ganja. Lembaga itu meneliti tanaman ini secara medis dan farmasi, seperti pasien lumpuh, mengatasi impoten, dan mempunyai daya ingat yang tinggi. D Kanada, pihak pemerintah melegalisasikan ganja untuk farmasi. Dilaporkan telah banyak pasien yang terbantu, seperti mengurangi rasa mual pada penderita AIDS dan penyakit lainnya. Pemerintah Kanada mengijinkan pembelian ganja dengan resep dokter di apotek-apotek lokal. Satu ons dijual sekitar 113 US dollar dan ganja dikirim melalui kurir ke pasien atau dokter mereka.

Menurut para medis, komposisi kimia yang terkandung dalam ganja adalah Cannibanol, Cannabidinol atau THC yang terdiri dari Delta -9- THC dan Delta -8- THC. Delta -9- THC sendiri dapat mempengaruhi pola pikir otak manusia melalui penglihatan, pendengaran, dan suasana hati pemakainya. Sementara Delta -9- THC diyakini para ilmuwan medis mampu mengobati berbagai penyakit. Daun dan biji ganja membantu penyembuhan penyakit tumor dan kanker. Akar dan batangnya bisa dibuat jamu yang mampu menyembuhkan penyakit kejang perut (kram), disentri, anthrax, asma, keracunan darah, batuk, diare, luka bakar, bronchitis. THC sendiri merupakan zat yang dapat menghilangkan rasa sakit, misalnya pada penderita glukoma. THC memiliki efek analgesic, yang dalam dosis rendah saja bisa bikin ‘tinggi’. Bila kadar THC diperkaya, bisa lebih potensial untuk pengobatan. Selain itu di masyarakat tradisonal, ganja dipakai sebagai herbal medicine. Namun bila dipakai sembarangan dan berlebihan, karena sifatnya sebagai alusinogen dapat menimbulkan euphoria sesaat, malas. Efek terburuk dari ganja membuat reaksi pemakai lambat, dan pengganja cenderung kurang waspada. Sebuah fakta lagi, kebanyakan orang takut menggunakan ganja bahkan haram bersentuhan dengannya, padahal ganja banyak dipasarkan dalam kemasan lain yang sering dikonsumsi orang tersebut sehari-hari, misalnya sebagai obat antikantuk, obat pelangsing, obat peningkat kecerdasan, obat kuat seks dan obat untuk menambah kepercayaan diri (konfiden).

Kenyatannya dibalik itu ganja memiliki sifat toksik, yaitu sifat racun yang menyebabkan pusing. Sifat toksik ini terbesar pada bagian tangkai dan bunga. Akibat yang ditimbulkan dari sifat toksik menyebabkan efek dalam tubuh, seperti pusing, mual, kehilangan konsentrasi, susah berjalan, mulut kering, kebingungan, paranoid, inkoordinasi otot, penglihatan kabur, bahkan apabila mengkonsumsi ganja dalam dosis yang berlebihan dapat mengakibatkan induksi koma, hingga gagal jantung dan kanker. Yang lebih menakutkan adalah kehilangan sebagian fungsi otak yang berakhir pada kelainan jiwa. Orang yang mengkonsumsi ganja akan berhalusinasi sehingga cenderung sensitif, berperilaku aneh karena tidak dapat berkonsentrasi, akhirnya orang ini akan menjadi malas. Pengaruh ganja berbeda-beda pada setiap orang. Merokok ganja akan menimbulkan reaksi 10 sampai 20 menit setelah menggunakannya, efek mabuk dan candu yang paling keras adalah ganja yang berasal dari Aceh, dalam perdagangan ganja dianggap tipe A. Dari berbagai kondisi ganja antara manfaat dan mudarat, yang jelas apabila ganja diberlakukan dengan benar akan memberikan manfaat, namun sebaliknya mengapa ganja menjadi haram, karena ini tidak lepas dari sifat toksiknya. Orang akan menjadi cepat marah sehingga mudah sekali menimbulkan kegaduhan. Orang menjadi malas sehingga akan menghasilkan generasi yang apatis, tidak memiliki etos kerja dan tidak pernah serius karena semua hanya dalam halusinasi dan mimpi-mimpi si pemakai ganja. Kehilangan konsentrasi juga mengakibatkan mudahnya orang cilaka baik si pemakai sendiri maupun mencederai orang lain.

Ganja bukan saja menjadi permasalahan lokal di daerah, tetapi ini adalah bentuk jaring laba-laba antara petani, pegedar dan pemakai. Semua level sosial masyarakat ada di dalamnya.ini perlu penanganan serius, sehingga bukan hanya pihak kepolisian yang berperan aktf dalam pemberantasan narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN) juga dibentuk guna mengani berbagai permasalahan penyalahgunaan narkotika di nusantara

III. Gerakan Anti Ganja

Masyarakat Provinsi Aceh perlu memperoleh dorongan mengubah perilaku dari menanam ganja ke Program Alternatif Pembangunan (Alternative Development Program). "Program alternatif perlu disosialisasikan lagi dan harus didorong untuk tidak menanam ganja dapat menghasilkan dengan menanam tanaman yang lain," kata Kapolda Aceh Irjen Aditya Warman di Aceh Besar. Pemerintah Aceh bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan yayasan Thailand meluncurkan Program Alternatif Pembangunan melalui tanaman yang lebih produktif di daerah Aceh.

Kegiatan ini antara lain menanam berbagai pohon seperti mahoni, jati, rambutan, mangga dan lain-lain sebagai pengganti ganja pada lahan seluas 7 hektar yang sudah disiapkan di desa Leubok Puni Kecamatan Kuta Malaka Aceh Besar pada akhir Mei 2009. Wacana kegiatan memberantas ganja melalui program pemberdayaan masyarakat dengan tanaman produktif dan ekonomis Menurut Bupati Aceh Besar Tgk. Bukhari Daud, diharapkan masyarakat wilayah tersebut tidak bergantung lagi pada tanaman “haram”. Program yang dikemas dengan Alternative Development (AD) tersebut sebagai upaya pemberantasan narkoba dan ketergantungan warga untuk menanam ganja.

Wakil Gubernur Muhammad Nazar yang juga ketua BNP Aceh mengatakan bahwa selama ini ganja bisa tumbuh sendiri di hutan-hutan atau sengaja ditanam dan dirawat. Ganja tidak hanya disalahgunakan oleh orang-orang kota, tetapi juga masyarakat pedesaan. Kasus narkoba di Aceh meningkat dari tahun ke tahun. Kalau tahun 2006 hanya 101 kasus, namun tahun 2007 meningkat tajam menjadi 600 kasus. Anehnya pemakai narkoba tidak saja kaum laki-laki, ternyata juga kaum perempuan. Oleh karena itu Wagub berharap kepada seluruh komponen masyarakat Aceh agar bersatu padu memberantas penyalahgunaan narkoba, termasuk para khatib untuk menyisipkan materi khutbah dengan bahaya narkoba, dengan satu persepsi untuk “mengharamkan” ganja.

Alternative Development atau pembangunan alternative adalah suatu upaya untuk mencegah dan memusnahkan penanaman tanaman-tanaman yang mengandung narkotika melalui kebijakan pembangunan yang dirancang khusus dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Upaya pemerintah dengan program Alternative Development, dalam masa 15 tahun mendatang diharapkan Aceh bisa bebas ganja, dan masyarakat punya alternatif usaha lain yang juga menguntungkan. Ini tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Ibarat selama ini orang sudah terbiasa naik mobil ilegal, lalu tiba-tiba ditawarkan sepeda motor. Pasti orang senang naik mobil butut ketimbang sepeda motor. Artinya memberi alternatif kepada masyarakat tentu saja yang realistik dan meyakinkan. Tidak sekedar seremonial, lalu kemudian hilang tak berlanjut dengan gerakan-gerakan yang telah diagendakan. Kita khawatir, kalau proram ini masih belum terkoordinasi dengan baik di lapangan, maka masyarakat kembali akan menanam ganja sebagai jalan pintas meski beresiko besar. Apalagi usaha yang bertentangan dengan hukum ini ikut bermain oknum tertentu di belakangnya. Program Alternative Development, telah sukses dilaksanakan di berbagai negara seperti Thailand. Keberhasilan itu tidak terlepas kerja keras dan dukungan setiap komponen masyarakat.

Agar ganja Aceh bisa hilang secara perlahan-lahan dan tidak ditanam lagi oleh masyarakat, maka perlu kesamaan persepsi antar berbagai komponen, mulai pemerintah, ulama, lembaga pendidikan dan masyarakat. Yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat yang selama ini bergantung hidup dari ganja dapat diyakinkan dengan usaha lain yang lebih bermartabat. Jika mereka diberikan kegiatan di bidang usaha pertanian misalnya pada tahun pertama dan kedua pemerintah menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan seperti bibit, pupuk dan obat-obatan. Jenis tanaman yang diusahakan pun selain tanaman keras, juga ada palawija atau tanaman semusim, sehingga dalam kurun waktu tiga bulan sudah dapat dinikmati hasilnya sembari menunggu hasil tanaman keras yang relatif lama sekitar 4-5 tahun.

Pengalaman sebelumnya, banyak program pemerintah yang digulirkan dengan dalih pengentasan kemiskinan, akhirnya gagal karena tidak jeli melihat permasalahan di lapangan termasuk mengikutsertakan masyarakat sebagai subjek. Program ini memang membutuhkan kerja keras, karena merubah perilaku manusia dari pekerjaan yang mudah menjadi sulit, meningkatkan etos kerja dan meninggalkan budaya malas. Program tersebut memang suatu perubahan budaya yang luar biasa karena perlu dukungan penuh dan terkoordinir baik dari pemerintah, penegak hukum dan masyarakat yang akan mengawasi sendiri dengan kesadaran penuh.

IV. Pelarangan Ganja dan Hukum yang Berlaku

Mengapa ganja dilarang? Inilah petanyaan yang belum dimengerti masyarakat luas. Padahal berbagai kampanye telah dilakukan, bahkan pemerintah sendiri pun telah mengeluarkan undang-undang tentang larangan proses produksi, distribusi sampai tahap konsumsi ganja. Undang-undang No. 22 1997 tentang narkotika mengklasifikasikan ganja; biji, buah, jerami, hasil olahan atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasil sebagai narkotika golongan I yang berarti satu kelas dengan opium dan kokain.

Pasal 82 ayat 1 butir a UU tersebut menyatakan bahwa mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan denda paling banyak satu milyar rupiah. pasal 85 KUHP tentang pemakaian narkoba akan diancam dengan hukuman 4 tahun penjara dan pasal 78 tentang kepemilikan psikotropika dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara. Namun hukuman ini masih kurang efektif karena semakin hari semakin banyak masyarakat yang terlibat narkoba. Namun hasilnya semakin hari semakin marak peredaran ganja dan pengembangannya di masyarakat.

Di dalam Islam sampai Abad Ketiga Hijriah, fiqh tidak pernah berbicara soal ganja. Yang pertama kali mengeluarkan fatwa tentang ganja adalah Imam al-Muzanni, murid dari Imam al-Syafi’i (175-264 H). Fatwa al-Muzanni merupakan reaksi ulama atas semaraknya fenomena zat adiktif ini dalam kehidupan masyarakat di Iraq waktu. Al-Muzanni mengeluarkan fatwa haram terhadap ganja, meskipun sebelumnya belum ada ulama (baik Abu Hanifah, Malik atau Syafi’i) yang mengharamkannya, karena memang pada masa mereka ganja belum umum dikonsumsi.
Pada masa al-Muzanni fenomena ganja mencapai eskalasi yang sangat menghawatirkan. Akhirnya, murid al-Syafi’i itu menyatakan bahwa ganja haram dikonsumsi. Fatwa dari al-Muzanni ini sempat ditentang oleh oleh Asad bin Amr, murid Abu Hanifah. Asad menyatakan bahwa ganja boleh dikonsumsi. Tapi, akhirnya semua ulama sepakat bahwa ganja haram dikonsumsi, karena telah membawa malapetaka yang sangat besar terhadap masyarakat. Konon, pada masa itu ganja telah umum dikonsumsi masyarakat. Sehingga sangat banyak orang yang kecanduan dan mengalami gangguan pikiran. Bahkan, para cendekiawan banyak yang linglung. Orang-orang pintar banyak yang tak waras gara-gara ganja. Akhirmya, para ulama di Transoxinia (Ma Wara’a al-Nahr) bersepakat mengharamkannya, sesuai dengan fatwa al-Muzanni. Ulama di kala itu juga mengeluarkan fatwa agar daun ganja dibakar; uang hasil transaksi ganja haram; penjual dan orang yang mengkonsumsi ganja harus diberi hukuman; orang yang melakukan talak pada saat sakau oleh ganja, talaknya jadi meskipun ia sedang tidak sadar.

Di Aceh ganja dulu dijual bebas di pasar, digantung-gantung di kios, di gerobak-gerobak penjaja sayur. Ganja mulai dilarang ketika Hoegeng menjadi kepala pemerintahan Kolonial Belanda untuk wilayah nusantara. Ia ingin tahu penyebab pemuda Aceh bermalas-malasan yang dinilai merugikan ekonomi Kerajaan Belanda. Lalu dia menyamar, pergi ke kampung-kampung dan ketemulah jawaban bodohnya, karena ganja. Hingga kini perusakan itu semakin nyata sehingga baik dari segi hukuminternasional maupun agama pantslah pelarangan ini berlaku.

V. Penutup

Akhirnya dari semua fenomena di atas, pantas kita berpikir apa sebab ganja tak habis-habisnya di Aceh?, mengapa para penyalahguna sangat mengaharapakan ganja di Aceh tetap ada?. Ada dua kutub yang saling berlawanan tentunya, di satu sisi ganja memberi kontribusi perekonomian masyarakat yang menanamnya, disisi lain kehadiran ganja yang disalah guna menghancurkan generasi atau masyarakat secara luas. Tulisan ini ditutup dengan hukum yang menaungi penyalahgunaan ganja, akhirnya jelas kita berkesimpulan hakikatnya ganja adalah barang haram yang tetap harus dijauhi dan diberantas.