Rabu, 03 Juni 2009

GAJAH DALAM SEJARAH ACEH

Hewan Gajah di dunia banyak terdapat di Asia dan Afrika . Hewan ini sangat besar bisa mencapai ukuran 3 sampai 5 meter dengan berat bisa mencapai 2 ton dan usianya bisa mencapai 150 hingga 200 tahun. Hewan gajah di beberapa masyarakat Asia Tenggara dianggap binatang yang memiliki keramat contohnya pada masyarakat Thailand hingga kini selain gajah disimbolkan sebagai lambang Negara, gajah-gajah juga dipelihara bukan sekedar sebagai atraksi pariwisata tetapi pemelihara gajah juga bentuk pengabdian kepada pencipta.

Apa kaitan antara hewan gajah dengan sejarah Aceh bahkan Kodam Iskandar Muda hingga saat ini menggunakan lambang gajah Putih. Diantara hewan-hewan yang sering disebut sebagai peliharaan kerajaan, gajah adalah hewan yang melegenda di kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh. Berikut kutipan tentang gajah yang pernah ada dalam sejarah Aceh :

Menurut catatan ahli sejarah purbakala dipermulaaan tahun Masehi ahli geografi dari bangsa Griek dan Rome dalam lawatannya mengunjungi daerah-daerah India Belakang hingga sampai ke kepulauan nusantara. Ketika mereka sampai ke daerah Ujung Sumatera disana didapati sebuah kerajaan yyang teratur, dimana rajanya mengendarai gajah dan memakai mahkota yang besar di kepalanya yang dibuat dari pada emas dan perhiasan batu permata. Mereka menamai kerajaan itu dengan nama Tabrobane.

Dalam tahun 500 Masehi, pernah didapati oleh pengembara-pengambara asing yang pernah mengunjungi ujung utara Pulau Sumatera disana didapati sebuah kerajaan yang bernama Poli rakyatnya beragama Budha rajanya mengendarai gajah. Raja itu dari dinasti Liang.

Dalam kitab Rahlah Abu Ishak Al Makarany disebut dalam tahun 540 H. = 1146 M. Di daerah Peureulak telah terdapat sebuah kerajaan Islam Sultan yang memerintah bernama dan bergelar Sultan Machdoem Johan Berdaulat Malik Mahmud Syah. Kelebihan dan kemegahan Sultan ini antara lain Baginda mengendari Gajah yang berhias emas yang berwarna warni Sultan ini memerintah dalam tahun 527-552 H = 1134-1158 M.

Dalam tahun 665 H. = 1265 M. Marcopolo pernah datang ke negeri Samudera (Pase) dalam masa pemerintahan Sultan Malikus Saleh (Meurah Siloo) dimana didapati Sultan Malikusaleh selain mempunyai tentara berkuda yang banyak juga baginda mempunyai kenderaan gajah. Dalam tahun 744 H = 1345 M. seorang pengembara Arab yang bernama Ibnu Batuttah mengunjungi kerajaan Samudera Pase dalam masa pemerintahan Sultan Ahmad Malikul Dhahir bin Sultan Muhammad Malikul Dhahir bin Sultan Malikus Saleh Meurah Siloo, yang memerintah dalam tahun 725-750 H. = 1326-1350 M. Ibnu Batutah menulis dalam bukunya yang bernama Rahlah Ibnu Batutah tentang kedatangannya ke negeri Samudera /Pase sambutan dari kerajaan begitu meriah terhadap tamau kerajaan masjid dan para ulamamnya begitu agung Diantara kebesaran dari kerajaan Samudera adalah ia memiliki 2000 laskar berkuda yang pakaian penunggangnya serba emas dan perak juga didapati 300 tentara gajah yang lengkap dengan perhiasan dan persenjataannya. Ibnu Batutah bemukim di negeri Samudera dan dapat menyaksikan bermacam-macam upacara kerajaan. Beliau menegaskan yang dapat menyerupai kerajaan Samudera /Pase adalah kerajaan Delhi (India).

,,Slaan wij met Valentijn, een blik op het Koningkrijk van Atsjeh, gelijk hij het noemt, dan moet de Beheerscher dc grootste Vorst van geheel Soematra geweest zijn, wiens titels, onder anderen, dus luidden : ,,Een Koning, die bezit dan getanden olifant, den rooden, den gekleurden, den zwarten, den witten, den gespikkelden olifant ; een Koning wien God-almagtig schenk kleeding voor de olifanten, met goud en edelgesteenten versierd, benevens een groot aantal strijdolifanten, met ijzeren huizen op hunnen rug, wier tanden met ijzeren scheden overtrokken, en die met operen schoenen gewapen zijn". ( Artinja : ,,Pandangan kami bersama-sama dengan tuan Valentijn, selayang pandang pada Kerajaan Aceh, sesuai dengan apayjang disebutnya, maka sebenarnyalah, bahwa yang berkuasa itu adalah ,,Maharaja jang terbesar di seluruh Sumatra, yang gelarannya antara lain, berbunyi sebagai berikut: “ Seorang Raja, yang mempunyai gajah yang bergading, yang berwarna, yang mewah, yang hitam, yang putih dan yang belang ; Seorang Raja yang kepadaya dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa memberi pakaian gajah-hajah itu dengan perhiasan emas dan batu permata (ratna mutu-manikam), juga sejumlah besar dari gajah peperangan, dengan kereta kencana di atas punggungnya, yang gading-gadingnja bersalutkan besi dan diberi sepatu tembaga. [1]
Selanjutnya Valentijn menyebut dalam bukunja tentang tinjauannya terhadap Kerajaan Aceh antara lain : Sultan Aceh mempunyai 40-50 ribu angkatan perang yang dapat dikerahkan ke medan perang dengan 2-3 ribu pucuk meriam yang dapat dibawa bersama, serta lengkap dengan mesiu dan peluru pelurunya. Juga Sultan Aceh (keradjaan Aceh), benar mempunyai 1000 ekor gajah yang dapat dipergunakan dalam peperangan, dan 200 kapal perang yang telah diturunkan ke air yang lengkap dipersenjatai de­ngan meriam-meriam dan alat perang lainnja.[2]


JENIS GAJAH DI ACEH

Di India jenis gajah dibagi kepada 3 jenis yang dinamai : KOEMIRA, DEWASALA dan MIERGA, maka di Aceh dalam gajah-gajah itu dibagi atas 4 jenis yang dinamai :
1. GAJAH MOENDAM
yaitu gajah yang badannya besar panjang, punggungnya ti­dak bungkuk, bentuk tubuhnya cantik, bagian depan dan ekornya sama tinggi. Daun telinganya tidak begitu lebar dan, lembut. Pandangan matanya lembut dan jinak. Jenis gajah ini cepat jinak, mudah diajar dan patuh, akan ajaran. Tahan lapar, ti­dak mudah berontak. Setia dan membela kawan, pekerjaannya sangat teratur dan tidak merusak. Tinja dan air seninya berwaktu dan tetap(tidak berserak-serak) tidak mau menabrak pagar dan dinding walaupun dipaksa, senantiasa mencari jalan yang biasa dilalui dan dicarinya pintu walaupun berkeliling jalannya. Suka kepada bunyi-bunyian dan perhiasan. Gajah ini sering dipergunakan dalam upacara kebesaran dari pasukan pengiring raja-raja.
2. GAJAH BUGAM
yaitu sebangsa gajah yang badannya tinggi besar dan pendek badannya, punggungnya bungkuk.

3. GAJAH SIAWANG
yaitu gajah yang badannya kecil dan pendek, bulunja kemerahan. Gajah ini liar, sukar diajar, malas dan suka berontak. Sangat rakus dan merusakkan tanaman. kedua macam gajah ini (gajah Bugam dan gajah Siawang), kebanyakan dipergunakan untuk gajah peperangan dan dalam pekerjaan yang kasar.
4. GAJAH KENG
yaitu sebangsa gajah yang depannya lebih tinggi dari ekornya, daun telinganya kaku dan lebar melewati kepalanya, bulunja kemerah-merahan. Gajah ini tidak suka berkawan, sangat liar dan amat jahat perangainya. Gajah ini tidak dapat dipergunakan dimana-mana.
Dalam masyarakat Aceh, ada kata-kata yang tertentu untuk menyebut gajah ; Pomeurah, Pobeuransah, Teukoe-rajeuk, dan Tanoh-manjang.

[1] Dr. W.A., Het gezantschap van den Sultan van Achin hlm. 19,20,21. Ulasan ini juga dapat dibaca dalam tulisan M. Junus Djamil, Gajah Putih Iskandar Muda, diterbitkan oleh Lembaga Kebudajaan Atjheh, Kutaraja 1958. hlm. 59-61.
[2] Ibid.

Selasa, 12 Mei 2009



Dari "Generasi ke Generasi" bisa saja berbeda pendapat tentang masa depan yang masih jauh ke depan bagai lautan yang tak bertepi, tetapi perbedaan usia bukan berarti tidak dapat duduk bersama dalam membahas masa depan. (suatu sore di pantai Samadua)

Jumat, 08 Mei 2009

BIOGRAFI SINGKAT PAHLAWAN NASIONAL

SULTAN ISKANDAR MUDA


Ada dua sumber berbeda yang sama-sama kuat tentang tahun kelahiran Sultan Iskandar Muda sebuah manuskrip menyatakan beliau dilahirkan pada 27 Januari 1591 dan dalam hikayat Aceh Iskandar Muda dilahirkan pada tahun 1583 kedua fakta ini hingga kini masih sama-sama diperdebatkan. Ayahandanya bernama Mansyur Syah sedangkan ibunya bernama Putri Indra Bangsa anak dari Sultan Alauddin Riayatsyah Al Mukamil. Sejak masa kanak-kanak Sultan Iskandar muda yang bernama Darmawangsa Tun Pangkat itu telah menunjukkan bakat dan kecerdasannya di berbagai bidang yng sebenarnya masih sangat jarang dilakukan oleh anak-anak seusianya misalnya berburu, bermain ketangkasan berpedang, memainkan meriam dan bermain perang-perangan dengan membuat benteng.
Darmawangsa Tun Pangkat tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan tangguh. Saat itu Kerajaan Aceh diperintah oleh pamannya yaitu Sultan Muda Ali Riayat Syah. Masa pemerintahan Sultan Muda kerajaan Aceh banyak mengalami ketidak teraturan, banyaknya perampokan, pembunuhan dan berjangkitnya wabah penyakit. Pada saat Kerajaan Aceh menghadapi ancaman dari Portugis dibawah pimpinan Alfonso de Castro yang kemudian menyerang Aceh Darmawasa Tun Pangkat memohon untuk dapat membantu berperang melawan Portugis. Pada peperangan ini Aceh mendapat kemenangan dan Darmawangsa Tun pangkat menjadi populer.
Pada saat Sultan Ali Riayatsyah meningal dunia Darmawangsa Tun Pangkat dinobatkan sebagai raja di Kerajaan Aceh dan diberi gelar Sultan Iskandar Muda. Sejak itu kerajaan Aceh berangsur-angsur mengalami kejayaan. Berbagai bidang kehidupan diperbaiki.
Sultan Iskandar Muda terkenal sangat tegas dan bijaksana. Dalam bidang pemerintahan Sultan Iskandar Muda menciptakan suatu bentuk kesatuan wilayah yang disebut mukim, guna mengkoordinir gampong . Tujuan pembentukkan mukim ini untuk kepentingan keagamaan, politik dan ekonomi. Sultan Iskandar Muda juga membuat ketetapan tentang tata cara yang berlaku di kerajaan Aceh yang kemudian disebut dengan ”adat meukuta alam ” . Di bidang pendidikan dan agama Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pelaksanaan ibadah sangat tertib, beberapa ulama dan pujangga seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Pasai hidup sebagai ulama yang ahli di bidang tassawuf dan theologi.
Di bidang militer kerajaan Aceh masa itu terkenal dengan angkatan perang baik laut maupun pasukan darat yang dikenal dengan pasukan gajah yang sangat terlatih. Di bidang ekonomi kerajaan Aceh terkenal sangat kaya dengan perolehan hasil dari perniagaan luar negeri yang dilakukan di pelabuhan-pelabuhan Aceh dan daerah takluknya, pajak dan perkebunan (seunebok ). Daerah takluk kerajaan Aceh masa Sultan Iskandar Muda di Pulau Sumatera meluas sepanjang jalur pantai pada kota-kota pelabuhan baik pada bagian timur maupun pada sebelah barat seperti Singkel, Barus, Batanghari, Passaman, Tiku, Pariaman, Padang dan Salido. Selain itu kekuasaannya juga meliputi semenanjung Melayu (Kerajaan Perak, Johor dan Pahang).
Hasil yang dicapai semasa pemerintahan Sulltan Iskandar Muda diantaranya terdapat kemakmuran dan kejayaan kerajaan-kerajaan Islam di kawasan serantau yang meliputi 1. menguasai selat Malaka dengan melawan atau mengusir Portugis dan negara asing lainnya yang ingin mendominasi rantau dengan cara memperkuat armada laut di kerajaan-kerajaan Islam sekawasan 2. Mengganggu eksistensi Portugis di Malaka dengan mengajak seluruh kerajaan-kerajaan Islam 3. Memberi sangsi kepada kerajaan Islam yang membantu atau bekerjasama dengan Portugis atau kekuasaan asing (Barat) lainnya. 4. Mengendalikan harga komoditas ekspor masyarakat muslim antar benua dengan menetapkan pajak dan upeti yang sesuai, dengan demikian pedagang muslim dapat bersaing dengan pedagang asing Barat secara sehat dan mendapatkan harga komoditas standar dunia yang kompetitif dan saling menguntungkan.
Kekuasaan Sultan Iskandar Muda mulai memudar setelah mengalami kekalahan saat melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Portugis di Malaka pada tahun 1629. Banyak tentara yang gugur dan kapal-kapal perang karam. Kekalahan ini sebenarnya juga disebabkan terjadi intrik dan perpecahan di kalangan pejabat militer. Antara Perdana Mentri yang memimpin peperangan ditentang oleh Laksamana sebaliknya Portugis juga telah dibantu oleh kerajaan Johor, Pahang dan Pattani yang membelot terhadap kerajaan Aceh. Perdana Mentri dan Laksamana akhirnya juga tewas dalam tawanan Portugis. Sejak itu armada laut menjadi lemah dan berangsur-angsur kerajaan menjadi kurang berpengaruh.
Teungku Chik Di TiroAdanya unsur Perang Sabil dipergunakan sebagai basis ideologi dan dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam perlawanan terhadap Belanda. Hal ini nampak bahwa kepercayaan yang ditanamkan dalam perang kolonial Belanda di Aceh oleh Tgk Chik Di Tiro ke dalam para pengikutnya adalah kepercayaan dari sudut duniawi dan akhirat. Dari sudut duniawi tertanam kepercayaan bahwa mereka akan dapat memenangkan pertempuran dan mengusir musuh sedangkan dari sudut akhirat dianggap bahwa perang ini adalah perang suci.



TEUNGKU CHIK DI TIRO

Teungku Chik Di Tiro adalah salah satu ulama Aceh yang sangat terkenal dalam perjuangan Aceh melawan Kolonial Belanda. Dilahirkan dari keluarga ulama terpandang di Pidie. Semasa kecil dihabiskan waktunya untuk mengenyam pendidikan di pesantren (dayah). Setelah menginjak dewasa beliau juga pergi ke Lamkrak (Aceh Besar) untuk menuntuk mempertajam ilmu agama dan dari sinilah beliau mulai turut beperang melawan Kolonial Belanda. Namun tidak seberapa lama di Lam Krak beliau berangkat menunaikan ibadah Haji, di Mekkah beliau juga belajar banyak pada ulama Aceh yang lebih dahulu berada di sana dan mengenal dunia politik lebih jauh tentangkeberadaan Kolonial. Pada saat beliau pulang ke tanah air di Aceh telah dihadapi berbagai permasalahan sehubungan dengan inginya Belanda menguasai Aceh. Akibatnya muncul keinginannya untuk berjuang bersama masyarakat, Ullebalang dan kaum ulama. Akhirnya Teungku Chik Di Tiro turun ke kancah peperangan. Awalnya tanpa bekal apapun karena yang dimilikinya hanya keberanian, pedang dan rencong. Hal ini membuat cemohan oleh beberapa kalangan. Menghadapi hal ini Teungku Chik Di Tiro tidak gentar dengan kesabaran maka dakwah adalah senjata paling ampuh dalam mengobarkan perang pada seluruh lapisan masyarakat.
Seruan Perang Sabil yang dikumandangkan oleh Tgk Chik Di Tiro mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan. Ada beberapa ulama yang menyatakan ikut bergabung dengan gerakan suci ini seperti Tgk Chik Kuta Karang bekas kadhi raja Aceh, Tgk Chik Umar Lam U dari Sagi XXII, Tgk Lam Paja Lho Nga dari Sagi XXV, Tgk Haji Muda Krueng Kale dari Sagi XXVI, dan Tgk Chik Tanoh Abee sedangkan para panglima yang menyatakan ikut bergabung seperti Habib Teupin Wan, Teuku Chik Paya Bakong, dan tain-lain. Dengan adanya bantuan tersebut Tgk Chik Di Tiro semakin kuat dan siap menghadapi Belanda. Hasil usaha menghimpun kekuatan tidak sia-sia. Ulama ini berhasil menghimpun kekuatan sebanyak 6000 orang.Perang Sabil segera dilancarkan di seluruh wilayah Aceh.
Setelah persiapan dirasa cukup, maka segera diambil langkah pertama yaitu memutuskan hubungan antar benteng Belanda. Pasukan Perang Sabil memotong kawat telepon antar benteng agar mereka tidak dapat sating berhubungan. Sebagai markas besar, Tgk Chik Di Tiro membangun sebuah benteng yang kuat di Mureu. Lokasi benteng ini mempunyai letak yang sangat strategis yaitu terletak di tepi Krueng Inong. Kemudian, serangan terbuka dilaksanakan dengan menyerang kedudukan benteng-benteng Belanda di Krueng Jreu, Gle Kameng, dan Indrapuri. Ketiga benteng tersebut diserang habis-habisan oleh pasukan Perang Sabil. Setelah dipertahankan oleh Belanda selama sebulan akhirnya ketiga benteng tersebut dapat direbut oleh pasukan Perang Sabil pada tahuh 1881. Belanda dapat dipukul mundur dari ketiga benteng tersebut dan akhirnya memperkuat benteng-benteng di Lambaro, Aneuk Galong, dan Samahani.
Keberhasilan mereka merebut ketiga benteng Belanda tersebut menambah keyakinan dalam diri pejuang akan kesuksesan perjuangan mereka. Untuk mempertahankan benteng-benteng yang telah direbut Tgk Chik Di Tiro membangun benteng-benteng baru dan memperbaiki benteng yang rusak seperti benteng di Lam Krak. Sedangkan di pihak Belanda, mereka menutup pelabuhan-pelabuhan yang ada di Aceh kecuali pelabuhan Idi. Selama kurun waktu 1882 - 1883 terjadi pertempuran yang dahsyat antara kedua pihak. Pasukan Tgk Chik Di Tiro mengalami banyak kemajuan. Beberapa benteng dapat direbutnya dari Belanda seperti benteng di Krueng Raja dan Kadju. Karena kuatnya tekanan pasukan Tgk Chik Di Tiro, maka akhirnya Belanda pun menarik diri dari salah satu benteng terkuatnya selama ini di Aneuk Galong dan mundur ke Lambaro dan Keutapang Dua. Sebelum meninggalkan Aneuk Galong Belanda sempat melakukan strategi bumi hangus sehingga pasukan Aceh tidak banyak memperoleh hasil dari sana.
Teungku Chik Di Tiro sempat pula menyerang Kutaraja, walaupun tidak berhasil merebutnya. Seorang Controuler Belanda J.P. Van Der Lith menemui ajalnya sedang Panglima Pang Nyak Hasan dari pihak Aceh tewas. Melihat Belanda hampir jatuh, Tgk Chik Di Tiro memberi ultimatum kepada Belanda dengan mengirim surat kepada Asisten Residen Van Langen pada tahun 1885 untuk mengadakan perdamaian. Tgk Chik Di Tiro bersedia berdamai dengan Belanda apabila Belanda bersedia memeluk agama Islam namun Belanda tidak menyetujuinya.
Pada tahun 1885 Belanda menerapkan strategi stelsel konsentrasi di bawah pimpinan Kol. Demmenic sebagai akibat taktik perang frontal yang diterapkan tidak berhasil. Yang dilakukan Belanda adalah ia memperketat pos-pos di sekitar inti pertahanan yaitu Ulee Lhue dan Kutaraja, kira-kira daerah seluas 50 km2. Lini dengan konsentrasi ini terdiri dari 16 pos. Masing-masing pos dikelilingi oleh sebuah dataran luas yang kosong tanpa pepohonan dan kampung seluas 1000 meter. Masing-masing pos tersebut dihubungkan dengan sebuah jaringan telepon yang terpusat di Kuta Raja.
Selama di Medan pertempuran (1881-1886) Tgk Chik Di Tiro tidak pernah pulang ke daerah Pidie. Pada 1887 Tgk Chik Dayah Tjut meninggal dunia. Dengan meninggalnya paman sekaligus gurunya ini Tgk Sjech Saman menjadi yang tertua di kalangan ulama Tiro. Oleh karena itu, ia berhak mendapat gelar Tgk Chik Di Tiro Muhammad Saman, artinya Teungku Besar Di Tiro Muhammad Saman. Dalam adat ulama di Tiro hanya ada seorang yang berhak memakai gelar Teungku Chik. Oleh karenanya selama Tgk Chik Dayah Tjut masih hidup, maka Tgk Sjech Saman belum resmi dipanggil Teungku Chik.
Dari pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di berbagai tempat tidak tahu berapa kerugian yang jatuh di pihak Belanda, tidak ada angka pasti. Namun dalam sebuah "Staatscourant" tanggal 4-5 Agustus 1889 yang memuat telegram dari Jenderal Mayor Van Teijn Gubernur Jenderal Sipil dan Militer di Aceh tertulis bahwa pada 26 Juli 1889 terjadi tembakan meriam dari pihak Aceh yang menewaskan beberapa perwira Belanda yaitu Kapten WTN Van Geusan, Letnan F.J.F Veerman, Letnan N.H. Hageman , 18 orang bawahan dan 4 orang opsir. Selama Gubernur Van Teijn berkuasa Belanda mempergunakan strategi "Wait and See "yaitu menunggu sampai keadaan berubah.
Kenyataannya strategi yang diterapkan Belanda ini hasilnya jauh dari yang diharapkan. Belanda sering terpukul mundur pada banyak pertempuran. Akhirnya, untuk mengimbangi pasukan Aceh Belanda membentuk satu korps tentara baru yang disebut Korps Marsose di bawah pimpinan J. Molten pada tanggal 2 April 1890. Pasukan ini terkenal sebagai pasukan berani mati dan kejam. Walaupun Belanda membentuk korps marsose Tgk Chik Di Tiro terus bertempur melawan Belanda tidak kurang dahsyatnya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Semangat pasukan pun tidak pernah kendur menghadapi Belanda. Selama tahun 1890 Tgk Muhammad Amin putera Tgk Chik Di Tiro yang tertua sudah ikut memimpin pasukan. Beberapa kali ia mendapat luka dan terpaksa diangkut ke Aneuk Galong.
Mengetahui bahwa jiwa Perang Sabil terdapat pada Tgk Chik Di Tiro maka Belanda berusaha membunuh ulama ini. Belanda kembali mempergunakan siasat adu domba di mana salah seorang bangsawan yang berambisi menjadi panglima sagi diperalat untuk membunuh ulama tersebut. Tgk Chik Di Tiro diundang ke Tui Seilemeung dan di dalam benteng itu ulama ini diberi makanan beracun. Tgk Chik Di Ttro kemudian jatuh sakit. Pada tanggal 25 Januari 1891 ulama ini wafat di Aneuk Ga­long. Namun semangat perang sabil tetap tertanam di hati rakyat Aceh sehingga perjuangan menentang Belanda tidak pernah surut.



TEUKU NYAK ARIEF

Teuku Nyak Arif dilahirkan tanggal 17 Juii 1899 di Ulee Lheue, merupakan anak seorang Ulee Balang Panglima Sagi XXVI mukim bernama Teuku Sri Imuem Muda Nyak Banta, ibunya bemama Cut Nyak Reyeuk. Teuku Nyak Arief tumbuh menjadi anak yang cerdas. gemar membaca, seni, dan olah raga, serta pengagum tulisan Haji Agus Salim ini. Beliau sangat benci kepada Belanda, karena itu ia tidak pernah mau menerima tunjangan sebesar 10 Golden tiap bulannya yang diberikan pemerintah Hindia Belanda bagi anak-anak bangsawan yang bersekolah di Bukit Tinggi. Pendidikan dilaluinya di sekolah pamong praja (pemerintahan) pada OSVIA (Oplaiding School Voor Inland Ambtenaren) di Serang, Banten Jawa Barat disinilah terasah jiwa nasionalismenya.
Beliau bersama rekan-rekannya selalu berdiskusi di bidang politik, nasionalismenya semakin mantap dan menemui bentuk yang sem sempurna. Menurutnya, dalam mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia salah satu jalan yang harus ditempuh adalah tetap bersatu. Walaupun Teuku Nyak Arif hanya berpendidikan sampai di OSVIA tetapi ia mampu menguasai masalah politik di Indonesia.
Dalam Kongres Syarikat Aceh (Aceh Vereeniging) pada tahun 1919 suatu organisasi yang bergerak di bidang sosial, telah memilihnya sebagai ketua. Semenjak itu, nama Teuku Nyak Arif semakin menjadi populer di kalangan generasi muda. Tempat kediamannya menjadi tempat berkumpulnya para pemuda untuk membicarakan masalah-masalah politik dan sosial lainnya. Kegiatan mereka ini selalu dicurigai dan diawasi secara ketat oleh mata-mata Belanda.
Teuku Nyak Arif bukanlah seorang pemimpin yang sombong. Dengan sifat bijaksana yang dimilikinya, ia mampu menyelesaikan pertikaian yang terjadi, baik antara golongan tua dan muda maupun antara bangsawan dan para ulama. Pada tahun 1920 Teuku Nyak Arif diangkat sebagai Panglima Sagi 26 Mukim untuk menggantikan kedudukan Teuku Nyak Banta selama 7 tahun.
Atas usul Gubemur Hans yang memerintah daerah Aceh pada waktu itu, pada tanggal 16 Mei 1927 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi salah seorang anggota Dewan Rakyat (Volksraad), di samping tetap sebagai Panglima Sagi XXVI mukim. Gubernur Hans berharap dengan adanya Teuku Nyak Arif di Volksraad akan dapat membantu pemerintah kolonial Belanda namun ternyata harapan itu tidak pernah diperolehnya. Sebaliknya kesempatan ini benar-benar digunakan oleh Teuku Nyak Arif sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan perjuangan Indonesia.
Dalam pidato-pidatonya di Volksraad Teuku Nyak Arif berani mengkeritik pemerintah Hindia Belanda sampai beberapa kali mendapat peringatan ketua sidang. Beliau juga mengatakan bahwa ia akan memperjuangkan kepentingan Aceh dan Indonesia serta memuliakan agama Islam, juga ia akan mengusahakan hak-hak yang berhubungan dengan kepentingan Indonesia, la mengkritik pemerintah Hindia Belanda yang melakukan pembuangan pemimpin dan pemuka bangsa Indonesia yang tidak bersalah dan menahan orang yang belum tentu bersalah. Teuku Nyak Arif mengajak pemerintah untuk memperhatikan anak-anak Indonesia dengan tidak mempersulit untuk memasuki sekolah ELS dan HIS dan sekaligus membantu mereka dengan cara memberi subsidi. Selanjutnya, ia juga mengajak pemerintah untuk merubah pikiran yang menyatakan bahwa "rakyat yang lemah dan melarat, mudah diperintah". Karena kenyataannya tidak demikian, melainkan dengan menaikkan tingkat kehidupan dan ekonomi rakyat secara intensif. Pidato yangsama juga sering terdengar dan dapat dibaca melalui media massa seperti koran harian "Bintang Timur". Apa yang telah dilakukan oleh Teuku Nyak Arif ini adalah selain sebagai wujud perjuangan Teuku Nyak Arif dalam mencapai kemerdekaan juga sebagai wujud dari sumpah dan janji yang telah ia ikrarkan bersama dengan para tokoh Aceh lainnya untuk melawan Belanda. Pada saat Jepang berada di Aceh Jepang sudah mengetahui bahwa Teuku Nyak Arif adalah pemimpin terkemuka di Aceh. Oleh karenanya ia diangkat sebagai penasehat militer untuk daerah Aceh. Teuku Nyak Arif berkesimpulan tidak ada jalan lain untuk menghancurkan Jepang ini, kecuali berpura-pura mau bekerja sama.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Berita ini tidak dapat diketahui di Aceh kecuali salah seorang kepercayan kepala polisi Jepang di Langsa yang bernama Abdullah yang berlagak sebagai mata-mata Jepang. Kemudian dengan keberaniannya Abdullah menyampaikan berita ini kepada Teuku Nyak Arif yang ia kenal sebagai pemipin rakyat yang sudah lama terkenal sejak zaman penjajahan Belanda.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 atas perintah Teuku Nyak Arif penaikan bendera merah putih dilakukan di Kantor Kepolisian dipimpin oleh Moh. Hasyim yang berlangsung tepat pukul 11.00 WIB. Pelaksanaan penurunan bendera Hinomaru dan penaikan bendera merah putih dilihat dengan jelas oleh beberapa polisi Jepang, namun mereka tidak berani lagi untuk bertindak. Sementara itu, di salah satu kamar Hotel Sentral yang merupakan markas mantan-mantan perwira Gyu-Gun telah berkumpul antara lain : Syamaun Gaharu, T. Hamid Azwar, Nyak Neh Rica, Said Usman, T. Sarong, Said Ali, Usman Nyak Gade, dan lain-lain. Hasil pertemuan ini memutuskan mengutus Syamaun Gaharu dan T. Hamid Azwar untuk berkonsultasi dengan Teuku Nyak Arif. Hasilnya Teuku Nyak Arif menganjurkan agar semua berkas pemuda Gyu-Gun, Heiho, Hikoyo Toko betsu, Kisutei Toko betsu, Kisatutai, dan lain-lain bersatu ke dalam satu wadah organisasi untuk mempertahankan kemerdekaan negara. Begitu juga dengan bekas anggota KNIL agar dilibatkan dalam organisasi ini.
Pesan ini kemudian disampaikan oleh T. Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu kepada rekan-rekan mereka yang masih menunggu di Hotel Sentral. Setiba di hotel tersebut mereka mendapat sambutan dan pekikan merdeka. Pekikan bagaikan gemuruh dan gegap gempita ini dalam waktu singkat telah tersebar luas sehingga dimana-mana terdengar pekikan merdeka. Dalam sebuah pertemuan besar di depan Kantor Kas Negara yang diadakan oleh Teuku Nyak Arif, ia mengatakan "Kalau para pemimpin tidak berani bergerak dan bertindak, maka pemuda akan mengambil tindakan lebih dahulu". Kata-kata Teuku Nyak Arif ini membuat seluruh rakyat tergerak hatinya untuk berjuang. Namun semua kegiatannya ini tercium oleh orang-orang Jepang yang masih tersisa di Banda Aceh. Tanggal 21 Agustus 1945 Teuku Nyak Arif, Teuku Panglima Polem Moh. Ali, dan Teuku Daud Bereuh dipanggil oleh Cokang S.Lino ke kantornya dan dia mengatakan pada mereka bahwa Jepang telah berdamai dengan sekutu.
Sementara itu, proklamasi kemerdekaan yang telah di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 terlambat diterima di Aceh. Hal ini perlu dimaklumi karena komunikasi pada masa itu tidak selancar seperti masa sekarang. Namun demikian, setelah menerima berita proklamasi kemerdekaan ini yang disampaikan oleh Gazali dan Rajalis serta radiogram dari Bukit Tinggi, Teuku Nyak Arif dihadapan para pemimpin Aceh menyatakan sumpah setianya kepada Republik Indonesia. Untuk memperlancar perjuangannya sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia daerah Aceh yang dipilih pada tanggal 28 Agustus 1945, Teuku Nyak Arif dengan rela menjual harta bendanya termasuk emas perhiasan isterinya. Ketika Jepang menghalangi penaikan bendera merah putih, maka dengan gagah berani Teuku Nyak Arif menodongkan pistolnya pada Matsubuhi sedangkan dimobilnya pun dipasang bendera merah putih.
Teuku Nyak Arif bersama kawan-kawan menuntut Jepang agar menyerahkan kekuasaan dan senjata. Tentu saja permintaan ini ditolak mengingat Jepang diberi kepercayaan oleh sekutu untuk tetap menjaga status quo. Akibat dari penolakan ini terjadilah perebutan senjata secara paksa. Banyak senjata yang berhasil direbut, tetapi sayang banyak di antara pejuang belum dapat menggunakannya.
Untuk mempertahankan dan menyukseskan revolusi, Teuku Nyak Arif membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Syamaun Gaharu. Tugas utama API ini adalah untuk menguasai sarana vital yang ada, seperti percetakan, stasiun kereta api, dan kantor pos. Angkatan Pemuda Indonesia yang dibentuk pada bulan Oktober 1945 kemudian berubah menjadi Angkatan Perang Indonesia dan dibentuk di seluruh Aceh. Hal ini tentu saja sangat mengejutkan Jepang dan meminta kepada pemipin Aceh untuk membubarkannya kembali. Permintaan ini ditolak dengan tegas oleh Teuku Nyak Arif dengan mengatakan bahwa Republik Indoensia telah berdiri. Akhirnya, atas permintaan pemerintah pusat API dilebur ke dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Melalui Surat Ketetapan Gubemur Sumatera No. 1 - X tanggal 3 Oktober 1945 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi Residen Aceh. Berkat kepemimpinan Teuku Nyak Arif, Aceh adalah daerah yang paling sempurna melaksanakan proklamasi. Atas usul Markas Daerah API/TKR Aceh, karena jasa dan perjuangannya yang luar biasa terutama di bidang kemiliteran, makaPanglima TKR Komandemen Sumatera tahun 1946 mengangkat Teuku Nyak Arif menjadi anggota staf umum TRI dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler di samping tetap sebagaiResiden Aceh.
Akibat tugas dan pekerjaannya yang begitu padat dan berat sehingga ia kurang istirahat, maka penyakit diabetesnya pun kambuh lagi bahkan semakin kronis. Sebelum ia meninggal dunia, Teuku Nyak Arif memberi pesan kepada keluarganya agar jangan menaruh rasa dendam dan meletakkan kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Setelah ia menyampaikan beberapa pesan yang dianggap penting pada keluarga, pada tanggal 4 Mei 1946 iapun meninggal dunia dengan tenang, dan dimakamkan di pusara keluarga di Desa Lam Reung Aceh Besar pada tanggal 6 Mei 1946.

Rabu, 06 Mei 2009

HUBUNGAN ACEH DENGAN BUGIS DALAM CATATAN SEJARAH

Oleh : Irini Dewi Wanti,SS,MSP.


I. Pendahuluan

Berbicara tentang hubungan antara Aceh dengan Bugis tidak lepas dari membicarakan jalur perdagangan di Nusantara pada awal abad 15. Sejak zaman kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dan negeri Cina memerlukan pelabuhan tempat persinggahan untuk tempat mengambil bekal dan menumpuk barang. Selama beberapa abad fungsi emporium tersebut dijalankan oleh kerajaan Sriwijaya. Merosotnya kerajaan Sriwijaya pada akhir abad XIII menyebabkan fungsi itu terpencar ke beberapa daerah di Nusantara antara lain di Pidie dan Samudera Pasai.[1] Namun, pada abad 15 Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling ramai hingga Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Hal ini berdampak kemunduran sedikit demi sedikit pada pusat perdagangan. Kemunduran Malaka memunculkan Aceh sebagai pusat perdagangan yang disinggahi oleh para pedagang muslim yang tidak mau berhubungan dengan Portugis.
Penyelenggaraan perkapalan dan perdagangan di kota-kota pelabuhan menimbulkan jalur komunikasi terbuka, sehingga terjadi mobilitas sosial baik horizontal maupun vertikal, serta perubahan gaya hidup dan nilai-nilai. Penyebaran agama Islam yang dibawa oleh kaum pedagang, perkawinan antar suku tidak terlepas dari adanya jalur perdagangan internasional pada masa lalu.
Kondisi ini memungkinkan adanya pembauran antara berbagai suku bangsa dalam satu daerah. Contohnya di Aceh hingga saat ini ada masyarakat di daerah Pidie melihat dari profilnya mirip dengan orang Tamil di India, sedangkan di Lamno ada masyarakat dengan warna mata biru mereka awalnya adalah komunitas sendiri keturunan Portugis. Begitu juga dengan Cina dan Arab juga bagian dari prototype orang Aceh.

II. Asal Usul Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis
Selanjutnya siapakah masyarakat Bugis yang ada di Aceh dan bagaimana keberadaannya di daerah itu ? Historiografi tradisional yang pernah berkembang di Aceh menyebutkan silsilah Sultan Aceh keturunan Bugis diawali dengan kisah seorang yang bernama Daeng Mansyur dari Wajo (kini salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan). Ia seorang anak raja yang terdampar di perairan Pidie (Kini Kabupaten Pidie di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Disisi lain kita akan bercerita tentang sebuah kampung (Aceh: Gampong) yang bernama Reubee ( kini di Kecamatan Delima di Kabupaten Pidie). Di kampung ini terkenal Dayah yang dipimpin oleh ulama bergelar Teungku Chik di Reubeë. Daeng Mansyur menikah dengan seorang puteri anak Teungku Chik di Reubee tersebut dan dikaruniai dua orang anak, seorang perempuan yaitu Putroë Suni dan anak laki-laki bernama Zainal Abidin.
Dalam catatan sejarah, masyarakat turunan Bugis yang ada di Aceh tidak terlepas dari sejarah Sultan Iskandar Muda. Awal dari sultan Aceh berdarah Bugis dimulai dengan pernikahan Iskandar Muda dengan Putroë Suni anak Daeng Mansyur (menantu Teungku Chik Di Reubee). Putroë Suni ketika dewasa dipersunting oleh Sultan Iskandar Muda sedangkan Zainal Abidin hijrah ke Aceh Besar selanjutnya terkenal dengan nama Teungku di Lhong dan ia mempunyai putra bernama Abdurrahim Maharajalela.[2]
Penulis Belanda juga menyebutkan tentang asal usul masyarakat Bugis yang ada di Aceh dengan menyebutkan adanya tiga orang ulama di Pidie berasal dari Sulawesi Selatan yaitu Teungku Seundri (sebenarnya adalah Sidendreng dalam logat Aceh disebut Seundri), Teungku Sigeuli yang namanya akhirnya diabadikan menjadi nama Kota Sigli, dan Daeng Mansur dari Wajo.[3] Sultan Iskandar Muda lahir pada tahun 1590 pada masa pemerintahan Sultan Saidilmukamil (1588-1604). Sebelum Sultan Saidilmukamil kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Ali Riayat Syah atau Raja Buyung (± 1586-1588). Iskandar Muda memerintah kerajaan Aceh Darussalam dengan sangat bijak sehingga kerajaan Aceh mencapai masa gemilang. Perkawinannya dengan Putroe Suni dikaruniai seorang anak perempuan bernama Safiatuddin Syah. Safiatuddin menikah dengan Iskandar Thani berasal dari Pahang. Maka inilah awal dari adanya pemerintahan Sultanah dan Sultan keturunan Aceh-Bugis di Kerajaan Aceh Darussalam.

III. Kepemimpinan Para Sultanah dan Sultan Sultanah
a. Sultanah

P.J. Veth seorang Profesor Etnologi dan Geografi di Universitas Leiden Belanda menulis sebuah karangan berjudul “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel” (= Pemerintahan Wanita di Kepulauan Nusantara). Satu hal yang menarik menurut Veth adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (sultanah) secara berturut-turut dari tahun 1641-1699 M.[4] Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, menantunya Iskandar Thani (suami Safiatuddin Syah) dinobatkan menjadi Sultan. Namun, pada tahun kelima kepemimpinannya (1641) baginda mangkat dan belum dikarunia seorang anak. Selanjutnya Safiatuddin dinobatkan sebagai Sultanah yang memimpin kerajaaan Aceh (1641-1675). Menjelang penobatannya timbul pertentangan di kalangan pembesar di Aceh. Hal ini disebabkan Sultan Iskandar Thani tidak memiliki putra dan pertentangan kelayakan seorang perempuan menjadi pemimpin dalam pandangan Islam. Setelah melalui musyawarah dan ikut campurnya ulama terkemuka yaitu Teungku Abdurrauf As Singkili (Syiah Kuala) yang menyarankan pemisahan antara masalah agama dengan pemerintahan. Akhirnya Safiatuddin Syah dinobatkan menjadi Sultanah wanita pertama.
Sultanah Safiatuddin memerintah selama sekitar hampir 35 tahun (1641-1675). Pemerintahan yang begitu lama tentulah dengan segala kebijaksanaan dan kemampuan yang dimiliki seorang wanita Aceh-Bugis. Sebaliknya selama pemerintahnya Sultanah terus menerus dirongrong oleh para tokoh kalangan istana yang tetap tidak setuju akan kepemimpinan seorang wanita. Namun, kenyataanya setelah Sultanah Safiatuddin mangkat kepemimpinan jatuh lagi ke tangan wanita yaitu Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678). Pada masa kepemimpinan pemerintahan Sultanah Safiatuddin kehidupan kerajaan yang paling menonjol terlihat pada kemajuan di bidang ekonomi. Pada masa pemerintahan Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah terjadi perubahan di bidang struktur administrasi pemerintahan yaitu di luar daerah yang langsung diperintah oleh Sultanah, daerah Aceh Besar dibagi dalam daerah besar yaitu 3 bagian daerah besar yang sedikit banyaknya menyerupai segi tiga di sekeliling daerah yang langsung diperintah oleh Sultanah dan karenanya dinamakan Sagi (Aceh Sagoe).
Sehubungan dengan jumlah mesjid-mesjid yang terdapat di dalam daerah tersebut, maka bagian-bagian itu dinamakan Sagi XXII, XXV dan XXVI para kepalanya dikenal dengan nama Panglima Tiga Sagi. Pada awalnya pengangkatan para Panglima Tiga Sagi itu bukan dimaksudkan supaya mereka melakukan pemerintahan sendiri-sendiri terhadap sesuatu negeri, tetapi lebih banyak untuk melakukan tugas pengawasan perintah-perintah pemerintah pusat yang disampaikan kepada para Uleebalang telah dijalankan sebagaimana mestinya. Selain itu para kepala Sagi dapat bertindak sebagai panglima pada masa terjadi peperangan seperti diartikan degan perkataan panglima itu.[5]
Kepemimpinan Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah hanya berlangsung sekitar 3 tahun karena mangkat dan digantikan oleh Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1678-1688). Selama kepemimpinan para Sultanah ini kerajaan Aceh mulai memudar kharismanya disebabkan pergolakan politik pro dan kontra terhadap kepemimpinan wanita. Terakhir Sultanah Kamalat Zainatuddin Syah bertahta pada tahun 1688-1699. Pro dan kontra terhadap kepemimpinan wanita akhirnya melengserkan Sultanah Kamalayat Syah. Kepemimpinan beralih kembali kepada pria dengan diangkatnya Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin menjadi Sultan. Mulai saat itu pemerintahan dipimpin oleh Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699-1702) yang juga anggota adalah seorang perutusan Mekkah. Setelah tiga tahun memerintah, baginda disuruh turun dari tahtanya oleh rakyat. Setelah peristiwa tersebut empat sultan keturunan Arab lainnya diangkat sebagai Sultan Aceh hingga tahun 1726 yaitu :
  1. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui Ibnu Syarif Ibrahim (1702-1703), keponakan Sultanah Kamalat Syah. Pada bulan Juni 1703 baginda didepak dari tahta oleh Jamalul Alam Badrul Munir.
  2. Sultan Jamalul Alam Badrul Munir putra Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin. Pada bulan Agustus 1703 Jamalul Alam Badrul Munir baru mendapatkan pengakuan sebagai Sultan sehingga berkuasa mulai 1703-1726. Di bawah pemerintahannya daerah Batubara (kini di Provinsi Sumatra Utara) memisahkan diri dan baginda dipaksa lari oleh pemberontakan umum pada tahun 1726.
  3. Sultan Johar Alam Amaddin Syah (1726) mangkat setelah 20 hari menjadi sultan.
  4. Sultan Syamsul Alam (Wan di Tebing) kemenakan Jamalul Alam Badrul Munir, beberapa minggu setelah dinobatkan diturunkan kembali pada akhir Desember 1726.

Pada bulan Juni 1727 dengan suara bulat ketiga Panglima Sagi memilih Maharajalela Melayu menjadi Sultan dengan gelar Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727-1735) putra Abdurrahim Maharajalela Bin Zainal Abidin (Teungku di Lhong) bin Daeng Mansur juga yang bergelar Teungku Chik Di Reubee mertua Sultan Iskandar Muda.Dengan demikian pemerintahan di Aceh kembali dipangku oleh Sultan berdarah Aceh-Bugis.

b. Sultan

Masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727-1735)hingga Sultan Alaiddin Johan Syah (1735-1760) selalu dihadapkan pada pertentangan yang dilancarkan oleh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir yang ingin berkuasa kembali. Namun, kedua Sultan yang hidup pada masa yang berbeda memiliki visi yang sama dalam menjalankan roda pemerintahan diantaranya mereka dapat membuka hubungan perdagangan dengan Inggris dan Perancis tanpa memberi izin kepada mereka membuka benteng.[6] Sultan Alaiddin Johan Syah (Pocut Uek) digantikan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1760-1781). Salah satu keberhasilannya adalah kenegerian Barus kembali kepangkuan Aceh pada tahun 1778 yang sebelumnya diduduki oleh Belanda. Sultan Aleidin Mahmudsyah berturut-turut digantikan oleh Sultan Alaiddin Muhammad Syah (1781-1795), Sultan Aleidin Alam Syah (1795-1824), Sultan Muhammad Syah pada 1824-1836, masa-masa ini adalah semakin gencarnya infiltrasi Barat (Inggris) ke Pulau Sumatra. Sultan Muhammad diganti oleh Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah (1836-1870) masa pemerintahan beliau satu persatu daerah kekuasaan Aceh di luar Pulau Sumatra jatuh ke tangan Belanda diantaranya Barus dan Nias. Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah digantikan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1870-1874). Pada tahun 1873 pecahlah perang Belanda di Aceh yang dimulai dengan Agresi Militer Belanda I. Inilah awal perang yang memunculkan keheroikan masyarakat Aceh. Agresi Belanda terhadap Aceh adalah awal kesengsaraan hingga pupusnya kesultanan Aceh. Akibat perang yang memakan waktu lebih 40 tahun menghancurkan bukan saja dalam bentuk fisk berupa lambang-lambang kerajaan seperti istana (Dalam), mesjid raya tetapi juga dengan pengasingan Sultan yaitu Sultan Alaiddin Mahmud Daud Syah.

IV. Penutup


Satu kenyataan bahwa hubungan Aceh dan Bugis diikat oleh benang merah yang mempersatukan keduanya akibat perkawinan kaum bangsawan hingga melahirkan para sultanah dan sultan Aceh keturunan Bugis yang pernah bertahta di Kerajaan Aceh khususnya dimulai dari Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727) hingga Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah (1903).
Sultan terakhir tertawan oleh Belanda dan diasingkan ke Ambon pada tahun 1907, kemudian dipindahkan ke Batavia (kini Jakarta) hingga mangkat pada bulan Februari 1939 dan makamnya dewasa ini berada di Rawamangun Jakarta.
Akhirnya dari tulisan ini jelaslah pada kita bahwa Negara kita yang diikat dalam NKRI memang bagian yang tidak terpisahkan antara satu daerah dengan daerah lainnya di kepulauan nusantara ini yang memiliki simpul-simpul sejarah. Bila dikaji memang seharusnya kita tidak boleh terpisahkan. Kita dipersatukan oleh sejarah, dipersatukan oleh ikatan darah antar satu suku dengan suku lainnya.

CATATAN KAKI

[1] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporium sampaiImporium, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 4.
[2] Tuanku Abdul Jalil, Peranan Aceh-Bugis Menghadapi Inggris dan Belanda, makalah Musyawarah Kerja Nasional Sejarah XII, (Medan : Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 12-15 Juli 1994).
[3] Ibid., Sumber ini mungkin dapat dibaca lebih lanjut pada T.J.Veltman, Nota over de Geschiedenis van Het Landschap Pidie, TBG, : 58,1919, hlm. 79-87,101.
[4] Rusdi Sufi dalam Ismail Sofyan (ed.), Wanita Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta : Jayakarta Agung Offset, 1994), hlm. 42.
[5] Masalah federasi pemerintahan di Kerajaan Aceh ini dapat dibaca dalam Van Langen, K.F.H “De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” BKI 37,1888. dan buku Mohammad Said, Atjeh Sepandjang Abad Jilid I,
[6] Ibid., Lihat juga Mohammad Said Atjeh Sepandjang Abad,