Selasa, 12 Mei 2009
Jumat, 08 Mei 2009
BIOGRAFI SINGKAT PAHLAWAN NASIONAL
Ada dua sumber berbeda yang sama-sama kuat tentang tahun kelahiran Sultan Iskandar Muda sebuah manuskrip menyatakan beliau dilahirkan pada 27 Januari 1591 dan dalam hikayat Aceh Iskandar Muda dilahirkan pada tahun 1583 kedua fakta ini hingga kini masih sama-sama diperdebatkan. Ayahandanya bernama Mansyur Syah sedangkan ibunya bernama Putri Indra Bangsa anak dari Sultan Alauddin Riayatsyah Al Mukamil. Sejak masa kanak-kanak Sultan Iskandar muda yang bernama Darmawangsa Tun Pangkat itu telah menunjukkan bakat dan kecerdasannya di berbagai bidang yng sebenarnya masih sangat jarang dilakukan oleh anak-anak seusianya misalnya berburu, bermain ketangkasan berpedang, memainkan meriam dan bermain perang-perangan dengan membuat benteng.
Sultan Iskandar Muda terkenal sangat tegas dan bijaksana. Dalam bidang pemerintahan Sultan Iskandar Muda menciptakan suatu bentuk kesatuan wilayah yang disebut mukim, guna mengkoordinir gampong . Tujuan pembentukkan mukim ini untuk kepentingan keagamaan, politik dan ekonomi. Sultan Iskandar Muda juga membuat ketetapan tentang tata cara yang berlaku di kerajaan Aceh yang kemudian disebut dengan ”adat meukuta alam ” . Di bidang pendidikan dan agama Islam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pelaksanaan ibadah sangat tertib, beberapa ulama dan pujangga seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Pasai hidup sebagai ulama yang ahli di bidang tassawuf dan theologi.
Kekuasaan Sultan Iskandar Muda mulai memudar setelah mengalami kekalahan saat melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Portugis di Malaka pada tahun 1629. Banyak tentara yang gugur dan kapal-kapal perang karam. Kekalahan ini sebenarnya juga disebabkan terjadi intrik dan perpecahan di kalangan pejabat militer. Antara Perdana Mentri yang memimpin peperangan ditentang oleh Laksamana sebaliknya Portugis juga telah dibantu oleh kerajaan Johor, Pahang dan Pattani yang membelot terhadap kerajaan Aceh. Perdana Mentri dan Laksamana akhirnya juga tewas dalam tawanan Portugis. Sejak itu armada laut menjadi lemah dan berangsur-angsur kerajaan menjadi kurang berpengaruh.
TEUNGKU CHIK DI TIRO
Teungku Chik Di Tiro adalah salah satu ulama Aceh yang sangat terkenal dalam perjuangan Aceh melawan Kolonial Belanda. Dilahirkan dari keluarga ulama terpandang di Pidie. Semasa kecil dihabiskan waktunya untuk mengenyam pendidikan di pesantren (dayah). Setelah menginjak dewasa beliau juga pergi ke Lamkrak (Aceh Besar) untuk menuntuk mempertajam ilmu agama dan dari sinilah beliau mulai turut beperang melawan Kolonial Belanda. Namun tidak seberapa lama di Lam Krak beliau berangkat menunaikan ibadah Haji, di Mekkah beliau juga belajar banyak pada ulama Aceh yang lebih dahulu berada di sana dan mengenal dunia politik lebih jauh tentangkeberadaan Kolonial. Pada saat beliau pulang ke tanah air di Aceh telah dihadapi berbagai permasalahan sehubungan dengan inginya Belanda menguasai Aceh. Akibatnya muncul keinginannya untuk berjuang bersama masyarakat, Ullebalang dan kaum ulama. Akhirnya Teungku Chik Di Tiro turun ke kancah peperangan. Awalnya tanpa bekal apapun karena yang dimilikinya hanya keberanian, pedang dan rencong. Hal ini membuat cemohan oleh beberapa kalangan. Menghadapi hal ini Teungku Chik Di Tiro tidak gentar dengan kesabaran maka dakwah adalah senjata paling ampuh dalam mengobarkan perang pada seluruh lapisan masyarakat.
Kenyataannya strategi yang diterapkan Belanda ini hasilnya jauh dari yang diharapkan. Belanda sering terpukul mundur pada banyak pertempuran. Akhirnya, untuk mengimbangi pasukan Aceh Belanda membentuk satu korps tentara baru yang disebut Korps Marsose di bawah pimpinan J. Molten pada tanggal 2 April 1890. Pasukan ini terkenal sebagai pasukan berani mati dan kejam. Walaupun Belanda membentuk korps marsose Tgk Chik Di Tiro terus bertempur melawan Belanda tidak kurang dahsyatnya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Semangat pasukan pun tidak pernah kendur menghadapi Belanda. Selama tahun 1890 Tgk Muhammad Amin putera Tgk Chik Di Tiro yang tertua sudah ikut memimpin pasukan. Beberapa kali ia mendapat luka dan terpaksa diangkut ke Aneuk Galong.
TEUKU NYAK ARIEF
Teuku Nyak Arif dilahirkan tanggal 17 Juii 1899 di Ulee Lheue, merupakan anak seorang Ulee Balang Panglima Sagi XXVI mukim bernama Teuku Sri Imuem Muda Nyak Banta, ibunya bemama Cut Nyak Reyeuk. Teuku Nyak Arief tumbuh menjadi anak yang cerdas. gemar membaca, seni, dan olah raga, serta pengagum tulisan Haji Agus Salim ini. Beliau sangat benci kepada Belanda, karena itu ia tidak pernah mau menerima tunjangan sebesar 10 Golden tiap bulannya yang diberikan pemerintah Hindia Belanda bagi anak-anak bangsawan yang bersekolah di Bukit Tinggi. Pendidikan dilaluinya di sekolah pamong praja (pemerintahan) pada OSVIA (Oplaiding School Voor Inland Ambtenaren) di Serang, Banten Jawa Barat disinilah terasah jiwa nasionalismenya.
Beliau bersama rekan-rekannya selalu berdiskusi di bidang politik, nasionalismenya semakin mantap dan menemui bentuk yang sem sempurna. Menurutnya, dalam mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia salah satu jalan yang harus ditempuh adalah tetap bersatu. Walaupun Teuku Nyak Arif hanya berpendidikan sampai di OSVIA tetapi ia mampu menguasai masalah politik di Indonesia.
Dalam Kongres Syarikat Aceh (Aceh Vereeniging) pada tahun 1919 suatu organisasi yang bergerak di bidang sosial, telah memilihnya sebagai ketua. Semenjak itu, nama Teuku Nyak Arif semakin menjadi populer di kalangan generasi muda. Tempat kediamannya menjadi tempat berkumpulnya para pemuda untuk membicarakan masalah-masalah politik dan sosial lainnya. Kegiatan mereka ini selalu dicurigai dan diawasi secara ketat oleh mata-mata Belanda.
Teuku Nyak Arif bukanlah seorang pemimpin yang sombong. Dengan sifat bijaksana yang dimilikinya, ia mampu menyelesaikan pertikaian yang terjadi, baik antara golongan tua dan muda maupun antara bangsawan dan para ulama. Pada tahun 1920 Teuku Nyak Arif diangkat sebagai Panglima Sagi 26 Mukim untuk menggantikan kedudukan Teuku Nyak Banta selama 7 tahun.
Atas usul Gubemur Hans yang memerintah daerah Aceh pada waktu itu, pada tanggal 16 Mei 1927 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi salah seorang anggota Dewan Rakyat (Volksraad), di samping tetap sebagai Panglima Sagi XXVI mukim. Gubernur Hans berharap dengan adanya Teuku Nyak Arif di Volksraad akan dapat membantu pemerintah kolonial Belanda namun ternyata harapan itu tidak pernah diperolehnya. Sebaliknya kesempatan ini benar-benar digunakan oleh Teuku Nyak Arif sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan perjuangan Indonesia.
Dalam pidato-pidatonya di Volksraad Teuku Nyak Arif berani mengkeritik pemerintah Hindia Belanda sampai beberapa kali mendapat peringatan ketua sidang. Beliau juga mengatakan bahwa ia akan memperjuangkan kepentingan Aceh dan Indonesia serta memuliakan agama Islam, juga ia akan mengusahakan hak-hak yang berhubungan dengan kepentingan Indonesia, la mengkritik pemerintah Hindia Belanda yang melakukan pembuangan pemimpin dan pemuka bangsa Indonesia yang tidak bersalah dan menahan orang yang belum tentu bersalah. Teuku Nyak Arif mengajak pemerintah untuk memperhatikan anak-anak Indonesia dengan tidak mempersulit untuk memasuki sekolah ELS dan HIS dan sekaligus membantu mereka dengan cara memberi subsidi. Selanjutnya, ia juga mengajak pemerintah untuk merubah pikiran yang menyatakan bahwa "rakyat yang lemah dan melarat, mudah diperintah". Karena kenyataannya tidak demikian, melainkan dengan menaikkan tingkat kehidupan dan ekonomi rakyat secara intensif. Pidato yangsama juga sering terdengar dan dapat dibaca melalui media massa seperti koran harian "Bintang Timur". Apa yang telah dilakukan oleh Teuku Nyak Arif ini adalah selain sebagai wujud perjuangan Teuku Nyak Arif dalam mencapai kemerdekaan juga sebagai wujud dari sumpah dan janji yang telah ia ikrarkan bersama dengan para tokoh Aceh lainnya untuk melawan Belanda. Pada saat Jepang berada di Aceh Jepang sudah mengetahui bahwa Teuku Nyak Arif adalah pemimpin terkemuka di Aceh. Oleh karenanya ia diangkat sebagai penasehat militer untuk daerah Aceh. Teuku Nyak Arif berkesimpulan tidak ada jalan lain untuk menghancurkan Jepang ini, kecuali berpura-pura mau bekerja sama.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Berita ini tidak dapat diketahui di Aceh kecuali salah seorang kepercayan kepala polisi Jepang di Langsa yang bernama Abdullah yang berlagak sebagai mata-mata Jepang. Kemudian dengan keberaniannya Abdullah menyampaikan berita ini kepada Teuku Nyak Arif yang ia kenal sebagai pemipin rakyat yang sudah lama terkenal sejak zaman penjajahan Belanda.
Rabu, 06 Mei 2009
HUBUNGAN ACEH DENGAN BUGIS DALAM CATATAN SEJARAH
I. Pendahuluan
Berbicara tentang hubungan antara Aceh dengan Bugis tidak lepas dari membicarakan jalur perdagangan di Nusantara pada awal abad 15. Sejak zaman kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dan negeri Cina memerlukan pelabuhan tempat persinggahan untuk tempat mengambil bekal dan menumpuk barang. Selama beberapa abad fungsi emporium tersebut dijalankan oleh kerajaan Sriwijaya. Merosotnya kerajaan Sriwijaya pada akhir abad XIII menyebabkan fungsi itu terpencar ke beberapa daerah di Nusantara antara lain di Pidie dan Samudera Pasai.[1] Namun, pada abad 15 Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling ramai hingga Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Hal ini berdampak kemunduran sedikit demi sedikit pada pusat perdagangan. Kemunduran Malaka memunculkan Aceh sebagai pusat perdagangan yang disinggahi oleh para pedagang muslim yang tidak mau berhubungan dengan Portugis.
II. Asal Usul Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis
III. Kepemimpinan Para Sultanah dan Sultan Sultanah
P.J. Veth seorang Profesor Etnologi dan Geografi di Universitas Leiden Belanda menulis sebuah karangan berjudul “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel” (= Pemerintahan Wanita di Kepulauan Nusantara). Satu hal yang menarik menurut Veth adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (sultanah) secara berturut-turut dari tahun 1641-1699 M.[4] Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, menantunya Iskandar Thani (suami Safiatuddin Syah) dinobatkan menjadi Sultan. Namun, pada tahun kelima kepemimpinannya (1641) baginda mangkat dan belum dikarunia seorang anak. Selanjutnya Safiatuddin dinobatkan sebagai Sultanah yang memimpin kerajaaan Aceh (1641-1675). Menjelang penobatannya timbul pertentangan di kalangan pembesar di Aceh. Hal ini disebabkan Sultan Iskandar Thani tidak memiliki putra dan pertentangan kelayakan seorang perempuan menjadi pemimpin dalam pandangan Islam. Setelah melalui musyawarah dan ikut campurnya ulama terkemuka yaitu Teungku Abdurrauf As Singkili (Syiah Kuala) yang menyarankan pemisahan antara masalah agama dengan pemerintahan. Akhirnya Safiatuddin Syah dinobatkan menjadi Sultanah wanita pertama.
- Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui Ibnu Syarif Ibrahim (1702-1703), keponakan Sultanah Kamalat Syah. Pada bulan Juni 1703 baginda didepak dari tahta oleh Jamalul Alam Badrul Munir.
- Sultan Jamalul Alam Badrul Munir putra Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin. Pada bulan Agustus 1703 Jamalul Alam Badrul Munir baru mendapatkan pengakuan sebagai Sultan sehingga berkuasa mulai 1703-1726. Di bawah pemerintahannya daerah Batubara (kini di Provinsi Sumatra Utara) memisahkan diri dan baginda dipaksa lari oleh pemberontakan umum pada tahun 1726.
- Sultan Johar Alam Amaddin Syah (1726) mangkat setelah 20 hari menjadi sultan.
- Sultan Syamsul Alam (Wan di Tebing) kemenakan Jamalul Alam Badrul Munir, beberapa minggu setelah dinobatkan diturunkan kembali pada akhir Desember 1726.
Pada bulan Juni 1727 dengan suara bulat ketiga Panglima Sagi memilih Maharajalela Melayu menjadi Sultan dengan gelar Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727-1735) putra Abdurrahim Maharajalela Bin Zainal Abidin (Teungku di Lhong) bin Daeng Mansur juga yang bergelar Teungku Chik Di Reubee mertua Sultan Iskandar Muda.Dengan demikian pemerintahan di Aceh kembali dipangku oleh Sultan berdarah Aceh-Bugis.
b. Sultan
Masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727-1735)hingga Sultan Alaiddin Johan Syah (1735-1760) selalu dihadapkan pada pertentangan yang dilancarkan oleh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir yang ingin berkuasa kembali. Namun, kedua Sultan yang hidup pada masa yang berbeda memiliki visi yang sama dalam menjalankan roda pemerintahan diantaranya mereka dapat membuka hubungan perdagangan dengan Inggris dan Perancis tanpa memberi izin kepada mereka membuka benteng.[6] Sultan Alaiddin Johan Syah (Pocut Uek) digantikan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1760-1781). Salah satu keberhasilannya adalah kenegerian Barus kembali kepangkuan Aceh pada tahun 1778 yang sebelumnya diduduki oleh Belanda. Sultan Aleidin Mahmudsyah berturut-turut digantikan oleh Sultan Alaiddin Muhammad Syah (1781-1795), Sultan Aleidin Alam Syah (1795-1824), Sultan Muhammad Syah pada 1824-1836, masa-masa ini adalah semakin gencarnya infiltrasi Barat (Inggris) ke Pulau Sumatra. Sultan Muhammad diganti oleh Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah (1836-1870) masa pemerintahan beliau satu persatu daerah kekuasaan Aceh di luar Pulau Sumatra jatuh ke tangan Belanda diantaranya Barus dan Nias. Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah digantikan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1870-1874). Pada tahun 1873 pecahlah perang Belanda di Aceh yang dimulai dengan Agresi Militer Belanda I. Inilah awal perang yang memunculkan keheroikan masyarakat Aceh. Agresi Belanda terhadap Aceh adalah awal kesengsaraan hingga pupusnya kesultanan Aceh. Akibat perang yang memakan waktu lebih 40 tahun menghancurkan bukan saja dalam bentuk fisk berupa lambang-lambang kerajaan seperti istana (Dalam), mesjid raya tetapi juga dengan pengasingan Sultan yaitu Sultan Alaiddin Mahmud Daud Syah.
IV. Penutup
Satu kenyataan bahwa hubungan Aceh dan Bugis diikat oleh benang merah yang mempersatukan keduanya akibat perkawinan kaum bangsawan hingga melahirkan para sultanah dan sultan Aceh keturunan Bugis yang pernah bertahta di Kerajaan Aceh khususnya dimulai dari Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727) hingga Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah (1903).
Sultan terakhir tertawan oleh Belanda dan diasingkan ke Ambon pada tahun 1907, kemudian dipindahkan ke Batavia (kini Jakarta) hingga mangkat pada bulan Februari 1939 dan makamnya dewasa ini berada di Rawamangun Jakarta.
Akhirnya dari tulisan ini jelaslah pada kita bahwa Negara kita yang diikat dalam NKRI memang bagian yang tidak terpisahkan antara satu daerah dengan daerah lainnya di kepulauan nusantara ini yang memiliki simpul-simpul sejarah. Bila dikaji memang seharusnya kita tidak boleh terpisahkan. Kita dipersatukan oleh sejarah, dipersatukan oleh ikatan darah antar satu suku dengan suku lainnya.
CATATAN KAKI
[1] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporium sampaiImporium, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 4.
[2] Tuanku Abdul Jalil, Peranan Aceh-Bugis Menghadapi Inggris dan Belanda, makalah Musyawarah Kerja Nasional Sejarah XII, (Medan : Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 12-15 Juli 1994).
[3] Ibid., Sumber ini mungkin dapat dibaca lebih lanjut pada T.J.Veltman, Nota over de Geschiedenis van Het Landschap Pidie, TBG, : 58,1919, hlm. 79-87,101.
[4] Rusdi Sufi dalam Ismail Sofyan (ed.), Wanita Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta : Jayakarta Agung Offset, 1994), hlm. 42.
[5] Masalah federasi pemerintahan di Kerajaan Aceh ini dapat dibaca dalam Van Langen, K.F.H “De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” BKI 37,1888. dan buku Mohammad Said, Atjeh Sepandjang Abad Jilid I,
[6] Ibid., Lihat juga Mohammad Said Atjeh Sepandjang Abad,