I. Pendahuluan
Sejarah mencatat, apa yang dilakukan Sultan Deli dengan
menyewakan tanah komunal kepada perusahaan perkebunan swasta asing menuai
konflik berdarah. Pada tahun 1870, Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam memberikan
tanah subur di wilayah Sunggal, yang membentang dari Pancur Batu di Kabupaten
Deli Serdang hingga di pinggiran Selatan Kota Medan, sebagai wilayah konsesi
perusahaan perkebunan tembakau De Rotterdam dan Deli Maschapij. Pemberian tanah
ini tanpa melalui perundingan dengan penguasa serta rakyat di wilayah Sunggal
sehingga menimbulkan konflik bersenjata. Datuk Badiuzzaman Surbakti, pemimpin
masyarakat Sunggal, pada tahun 1872 mengadakan perlawanan atas tindakan sepihak
Sultan Deli. Perang pun pecah antara Sultan yang didukung Belanda dan
masyarakat Sunggal yang dipimpin Badiuzzaman Surbakti.
Perang ini berlangsung dalam kurun waktu 23 tahun, dari
tahun 1872 hingga 1895. Sejarah mencatat sengketa tanah ini sebagai Perang
Sunggal. Perang ini menjadi penanda dimulainya sengketa tanah di Sumut yang
melibatkan rakyat dengan perusahaan perkebunan. Perang ini mempunyai dua nama
yaitu 'Perang Sunggal' dan 'Perang Batak'. Penamaan 'Perang Sunggal' muncul
karena perang ini terjadi di daerah Sunggal,[1]
tempat tinggal masyarakat Melayu dan masyarakat Karo ketika itu. Perang ini
disebut Belanda juga dengan 'Perang Batak' atau Batak Oorlog karena medan
pertempurannya kebanyakan berada di pegunungan yang didiami oleh masyarakat
Batak-Karo.
II. Pemberontakkan Rakyat
Sunggal
Dibukanya penanaman
tembakau secara besar-besaran oleh
Nienhuys tahun 1863 di sekitar kota Medan
sebagai awal dari permasalahan pertanahan di Sumatera Timur pada masa
Kolonial Belanda bahkan hingga sekarang ini.
Timbulnya perkebunan-perkebunan tembakau menyebakan banyaknya tanah yang
berada di bawah kekuasaan Urung Empat
Suku yang berkuasa di sekitar Medan dijadikan kebun tembakau.
Pemberian konsesi tanah-tanah oleh Sultan Deli tidak dilakukan dengan jalan
musyawarah dengan para pemimpin urung
sedangkan dalam tata karma Kerajaan Deli kedudukan datuk pimpinan urung sangat menentukan dalam pemerintahan. Kondisi
ini merupakan pelanggaran adat istiadat dan tradisi kerajaan Deli, terutama
dalam masalah penyewaan tanah-tanah yang berada dalam wilayah urung tersebut. Seluruh pelanggaran
terhadap adat istiadat ini terjadi pada
masa pemerintahan Datuk Kecil, yaitu datuk yang menguasai Urung Sunggal dan lebih dikenal dengan nama Datuk Sunggal.
Pada masa pemerintahan inilah terjadi pertumbuhan perkebunan Belanda sekitar Kerajaan Deli. Pertumbuhan perkebunan-perkebunan tersebut melahirkan
kegoncangan-kegoncangan dalam kehidupan masyarakat di Kerjaan Deli terutama pada daerah Urung Empat Suku atau disebut kemudian daerah datuk-datuk yang empat.
Kegoncarigan itu disebabkan rakyat Sunggal
melihat di sekeliling mereka Deli dan langkat : tanah-tanah rakyat yang subur diberikan untuk
konsesi perkebunan tembakau kepada
maskapai-maskapai asing sedang keuntungan tidak diberikan kepada rakyat di situ, mulailah Sunggal berjaga-jaga dan
menentang cara-cara itu…[2]
Contoh di atas merupakan suatu gambaraan dari keadaan di
urung yang dikuasai oleh Datuk Sunggal. Perasaan tidak puas rakyat pada daerah tersebut juga
disebabkan oleh perusakan tata kehidupan
masyarakatnya. Sejak adanya perkebunan-perkebunan di sekitar kediaman penduduk,
lahirlah suatu kelompok masyarakat
yang asing bagi penduduk. Belanda mendatangkan buruh-buruh dari Negari Cina dan India untuk pembukaan
perkebunan tembakau itu. Kehidupan
masyarakat asing yang berada di dekat desa-desa
penduduk sering melahirkan gangguan-gangguan pada desanya seperti kebiasaan berjudi, minuman keras,
dan lain-lain. Hal inilah yang
sangat menggelisahkan penduduk. Seluruh keadaan ini diharapkan penduduk
dapat diakhiri dengan melenyapkan pengaruh
Belanda dari daerahnya melalui perlawanan bersenjata. Datuk Sunggal
mengetahui bagaimana perasaan rakyatnya pada
waktu itu sehingga ia mengadakan persiapan-persiapan untuk mengusir Belanda
dari daerahnya dengan mendirikan benteng-benteng
pertahanan dan mengadakan kesiapsiagaan pasukannya. Tindakan dari Datuk
Sunggal itu mendapat dukungan dari masyarakat Batak Karo di Pegunungan, karena
penduduk yang mendiami daerah urung empat suku
itu adalah suku bangsa Karo yang
masih mempunyai ikatan keluarga walaupun mereka telah memeluk Agama Islam.
Layaknya wilayah lain di Nusantara, dahulu rakyat
Sumatera Utara tak pernah mengenal kepemilikan individual atas tanah.
Kedatangan Belanda yang membuka perusahaan perkebunan menandai dimulainya era
kepemilikan individual itu.
Melihat kesiapsiagaan
Datuk Sunggal tersebut, Belanda yang mempunyai kepentingan dalam
penanaman modalnya di Deli segera mendatangkan pasukannya dari Jawa sebelum keadaan tersebut
menjadi
lebih parah. Pada 15 Mei 1872 datanglah pasukan ekspedisi Belanda yang
pertama dipimpin oleh Kapten W. Koops. Belanda bersama dengan
pasukan Kerajaan Deli sebagai penunjuk jalan, mulai melakukan
penyerbuan ke daerah perbentengan Sunggal sehingga terjadilah Perang Sunggal.
Dalam peperangan ini para pejuang dari Datuk Sunggal tidak hanya bertahan tetapi
juga melakukan
penyerangan-penyerangan. Mereka membakar bangsal-bangsal tembakau dan
mengganggu pekerjaan buru-buruh perkebunan agar apa yang diharapkan Belanda tidak dapat
tercapai.[3]
Disebabkan serangan-serangan
ini pihak perkebunan Belanda mengalami kesulitan. Pasukan ekspedisi yang
didatangkannya tidak dapat mengatasi keadaan. Bahan makanan yang selama ini
didatangkan dari daerah pedesaan
tidak dapat masuk ke kota dan perkebunan.
Untuk mengatasi ini Belanda terpaksa mendatangkan beras dari Penang. Sementara itu kegiatan dari
pejuang-pejuang Datuk Sunggal
melahirkan perang urat syaraf sehingga Belanda harus terus-menerus berjaga-jaga.
Diantara serangan-serangan
yang dilakukan oleh rakyat Sunggal yaitu
dilakukan di daerah Rantau Betul, Timbang Langkat, rakyat membuat
lombang-lobang pesembunyian dan ranjau untuk serdadu Belanda akibatnya berjatuhan korban di pihak Belanda. Namun
untuk mencari gerilyawan Sunggal Belanda membumihanguskan kampung-kampung di
sekitar Sunggal. Rakyat juga menyerang rumah-rumah administrateur perkebunan
dan membakarnya sehingga Belanda mengungsikan para administrateur dan
keluaranya ke daerah-daerah yang aman.[4]
Perang ini mendapat perhatian serius dari Kerajaan Belanda karena perlawanan rakyat yang meluas hingga daerah pegunungan
Karo dan hampir seluruh Sumatera Timur
harus segera dipatahkan.
Untuk mempercepat
berakhirnya perang ini Belanda mengirim lagi ekspedisinya yang kedua.
Pasukan ini lebih banyak dari yang pertama serta dipimpin oleh Letnan Kolonel Von Homracht. Persenjataannya lebih
lengkap dari pasukan pertama karena dilengkapi oleh artileri
berkuda. Pasukan ini bertujuan untuk mengadakan penyerahan ke
kubu-kubu pertahanan Sunggal, Perlawanan Datuk Sunggal yang dibantu oleh penduduk pedalaman itu sangat
memusingkan Belanda sehingga Belanda mencoba untuk mencari
kubu-kubu pertahanan Sunggal. Untuk tujuan tersebut diperlukan
meriam-meriam yang dapat menghancurkan kubu-kubu tersebut. Walaupun
demikian perlawanan dari pasukan Sunggal tidak dapat dipatahkan oleh Belanda. Berbagai
siasat dilakukan Belanda untuk mengamankan daerah sekitar Deli, tetapi tidak membawa hasil.
Dengan suatu tipu muslihatnya Belanda mengajak Datuk Kecil atau lebih
terkenal lagi dengan Datuk Sunggal untuk berunding menyelesaikan segala perbedaan pendapat.
Usul itu disetujui oleh Datuk Sunggal dan perundingan
dilaku-kan pada 25 Oktober 1872. Dalam perundingan itu Belanda melakukan suatu tindakan
yang licik. Perundingan tidak diadakan, dan Belanda mengatakan bahwa
Datuk Sunggal sekarang menjadi tawanan Belanda. Tindakan Belanda yang merupakan tipu
muslihat ini berhasil
dan Datuk Sunggal bersama putera-puteranya kemudian dibuang ke Cilacap
berdasarkan putusan dari Gubernur Jenderal Belanda yang berkedudukan di
Batavia.[5]
Dengan ditawannya Datuk Kecil maka Datuk Badiuzzaman juga ditangkap dengan
tipu muslihat Belanda dan dibuang pula ke Cianjur. Dengan
ditangkapnya tokoh-tokoh Perang Sunggal ini Perang Sunggal pun berakhir
pada tahun 1873, tetapi secara kecil-kecilan masih terus terjadi
perlawanan terhadap Belanda tidak saja di Deli tetapi juga dibagikan lain
dari wilayah Sumatera Timur, misalnya di Asahan dan Sumalungun seperti telah diuraikan
di atas. Untuk
mengamankan daerah perkebunan yang vital di Sumatera Timur terutama di Deli, pihak perkebunan
Belanda mengusulkan
kepada Pemerintah Hindia Belanda agar suku-suku itu dipecah-pecah sehingga mudah dapat dikuasai. Daerah
Deli yang banyak
hubungannya dengan daerah Karo di pegunungan dipecah karena mereka itu sebenarnya satu keturunan.
Untuk melakukan
hal itu perlu dipercepat
pengembangan Agama
Kristen di daerah tersebut. Pemisahan satu suku tersebut dalam dua agama yang berlainan memudahkan
Belanda untuk menguasai daerah ini
sehingga perkebunan Belanda dapat aman. Usul ini
dapat diterima Belanda sehingga setelah peperangan yang melanda daerah Sumatera Timur dan Tapanuli
berakhir, Belanda mengirimkan missi Nederlandsche
Zending Genvotschap untuk mengembangkan
Agama Kristen di Dataran Tinggi Karo.[6] Jurang pemisah itu semakin meluas karena di
daerah pesisir Belanda mendukung
tindakan kebijaksanaan raja-raja yang hanya meneri-ma pegawainya tidak bermarga. Penduduk pesisir
kemudian menanggalkan marganya agar
dapat menjadi warga dari kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur seperti Deli,
Serdang dan Langkat. Keadaan ini melahirkan pertentangan antara penduduk pantai
dengan daerah pedalaman, tetapi dengan politih pecah belah Belanda berhasil
berkuasa di daerah Sumatera Timur.
III. Dari Perang Sunggal Hingga Sengketa Tanah
Telah
diulas di atas kedatangan Nienhuys, pengusaha onderneming (perkebunan) asal
Belanda ke tanah Deli, yang sekarang menjadi wilayah kota Medan dan Kabupaten
Deli Serdang, pada Juli 1863 dianggap sebagai awal mula dari carut-marutnya
sengketa tanah di Sumut.[7]
Menurut Saidin sultan atau ketua masyarakat adat
menyewakan tanah-tanah tersebut dengan tenggang waktu selama 75 hingga 99
tahun. Sultan bertindak atas nama masyarakat hukum adat dan diketahui gubernur
jenderal sebagai wakil Kerajaan Belanda di Hindia Timur. Ahli hukum agraria dari Universitas Sumatera
Utara (USU), Prof Dr Muhammad Yamin Lubis, mengungkapkan, tindakan Sultan Deli
menyewakan tanah adat ke perusahaan swasta asing telah mengubah konsep
kepemilikan tanah di wilayah Kesultanan Deli.
”Seperti juga di wilayah lain di Indonesia, di Deli tanah
itu milik Tuhan yang diberikan kepada rakyat. Atas nama rakyat, raja kemudian
mengorganisasinya. Kepemilikan tanah tetap atas nama rakyat, hanya saja yang
mengorganisasi raja. Ini berbeda dengan hukum agraria Barat, di mana raja
adalah pemilik keseluruhan tanah,"[8]
Konsep hukum agraria Barat yang dibawa ke Deli dimulai
saat perusahaan perkebunan swasta menyewa tanah langsung dari sultan tanpa
melibatkan rakyatnya. Perusahaan perkebunan ini menyewa tanah langsung ke raja,
padahal rakyatlah yang punya. Mereka membuat kontrak dengan raja sendirian.
Hak-hak kepemilikan tanah mulai terindividualisasi. Jika masyarakat ingin
diakui sebagai pemilik sah atas tanah, mereka harus mendaftar dan memiliki
surat atau sertifikat, ujarnya.
Menurut Yamin, hukum agraria Barat yang dibawa Belanda
juga memperkenalkan masyarakat Deli dengan konsep hak ulayat. Setelah tanah
komunal mereka disewakan sepihak oleh sultan, perusahaan perkebunan memberikan
tanah untuk dikelola rakyat. Tujuannya agar rakyat tidak merambah tanah yang
telah dikonsesikan kepada perusahaan perkebunan. Ketika Jepang menjadi penguasa
di tanah Deli, hampir tak ada aturan soal tanah. Baru setelah Indonesia
merdeka, negara mulai mengurus bukti kepemilikan tanah masyarakat maupun
perkebunan.
Di Sumatwera Utara setelah terbit Undang-Undang (UU)
Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Pemakaian Tanah oleh Rakyat, pemerintah
mulai mengatur bukti penguasaan tanah bekas perkebunan swasta asing oleh
masyarakat. Masyarakat mengenal kartu registrasi penggunaan tanah (KRPT), surat
keterangan tanah (SKT), girik, hingga Ipeda. Di Sumut, selain surat tersebut,
ada juga Grant C (controleur), bukti kepemilikan tanah yang dihadiahkan
perkebunan kepada rakyat; Grant Deli Maschapij, bukti kepemilikan tanah
yang dihadiahkan perusahaan tembakau Deli Maschapij; dan Grant Sultan, bukti
kepemilikan tanah yang dihadiahkan sultan kepada rakyat, akan tetapi surat tersebut
tak beraturan. Ada yang keluar di atas tanah yang bukan haknya. Setelah terbit
UU No 5/1960 tentang Agraria, negara memberikan kesempatan kepada pemilik surat
tersebut untuk mengonversi hak mereka atas tanah dengan sertifikat, baik
sertifikat hak milik, sertifikat hak guna bangunan, maupun sertifikat hak guna
pakai.
Namun, yang terjadi sebelum ada konversi, tanah ini sudah
diperjualbelikan dan itu tidak di lembaga yang ditunjuk UU. Akibatnya, sampai sekarang di Medan, SK Camat hampir rata
menjadi masalah. Padahal, SK Camat itu bukan bukti kepemilikan, hanya surat
yang menunjukkan tanah itu terletak di suatu tempat. Mestinya, tanah yang menjadi milik negara dikonversi
menjadi hak penguasaan, tanah yang menjadi milik perkebunan dikonversi jadi hak
guna usaha (HGU), dan tanah yang menjadi milik rakyat dikonversi jadi hak milik
keperdataan. Di dalam kehidupan yang sebenarnya, rakyat kita tak pernah
memiliki bukti kepemilikan tertulis. Rakyat juga tak mau berurusan dengan
lembaga pemerintah yang mengatur hak mereka, seperti badan pertanahan karena
takut bakal dipunguti pajak.[9]
IV. Rakyat vs perkebunan
Kebiasaan rakyat yang enggan memiliki bukti tertulis
penguasaan mereka atas tanah menjadi bibit baru sengketa tanah ketika pemerintah menasionalisasi perkebunan swasta asing
menjadi perusahaan perkebunan negara (PTPN). Masyarakat Deli yang dulunya
diberi hak ulayat oleh sultan dan perusahaan perkebunan swasta asing tak lagi
bisa menikmatinya ketika perkebunan negara tak lagi mengakui hak mereka. Rakyat
kemudian menuntut haknya. Mereka tak segan menyerobot tanah perkebunan seperti
yang terjadi pada konflik masyarakat Melayu Deli dengan PTPN II. [10] Konflik pun meluas, tak lagi antara
masyarakat Melayu dan perusahaan perkebunan, seperti PTPN II, tetapi antara bekas
buruh kontrak dari Jawa hingga pendatang dari Tapanuli.
Sengketa tanah yang melibatkan bekas buruh perkebunan
dari Jawa dengan perusahaan perkebunan, antara lain, terjadi dalam kasus
pembangunan Bandara Internasional Kuala Namu di Deli Serdang. Yayasan Bina
Keterampilan Pedesaan (Bitra) yang banyak mendampingi masyarakat yang
berkonflik dengan perkebunan mencatat, sengketa jenis ini terjadi merata di
semua wilayah Sumut.
Di Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten
Serdang Bedagai, misalnya, rakyat yang dulu membuka hutan dan mendirikan
perkampungan sendiri tiba-tiba tanahnya diklaim sebagai bagian dari HGU milik
Perusahaan Perkebunan (PP) London Sumatera.
Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara
(Bakumsu) mencatat jenis konflik lain antara petani dan perusahaan perkebunan. Menurut
Sekretaris Eksekutif Bakumsu Mangaliat Simarmata, 301 keluarga di Desa Suka
Rame dan Desa Sono Martani, Kecamatan Kualu Hulu, harus kehilangan tanah akibat
ditipu perusahaan perkebunan PT Sawita Leidong Jaya dan PT Grahadura Leidong
Prima. Kedua perusahaan itu menjanjikan lahan garapan baru bagi petani di kedua
desa kalau mereka melepas tanah garapannya. Rakyat yang memang menggarap lahan
di hutan register 4 mau memberikan tanah garapan mereka kepada kedua perusahaan
tersebut. Bupati Labuhan Batu pun memberikan izin prinsip kepada kedua
perusahaan membuka perkebunan kelapa sawit di hutan register 4. Namun, janji
kedua perusahaan tidak dipenuhi. Rakyat kehilangan tanah garapan. Saat mereka
merambah dan merusak kebun sawit kedua perusahaan, polisi pun bergerak. Dua
orang warga desa ditahan di Kepolisian Daerah Sumut. [11]
Kasus
lain adalah sengketa tanah Pando Perengan di Afdeling 13 Bandar Betsy,
Kabupaten Simalungun. Masyarakat yang umumnya datang dari Pulau Samosir pada
tahun 1950 menggarap bekas perkebunan Belanda yang dibiarkan telantar. Yang
mereka garap adalah rawa-rawa yang dikenal dengan istilah Pando dan tanah
penghubung dengan daratan yang disebut Perengan karena bentuknya yang landai.
Kini lahan yang mereka garap diklaim merupakan bagian dari HGU PTPN III. Mereka
yang mencoba menuntut kembali haknya dicap komunis.[12]
VI.
Penguasaan hutan
Jenis
sengketa tanah lain yang juga terjadi di Sumut adalah penguasaan lahan oleh
masyarakat di hutan yang telah gundul oleh pembalak liar. Hardi Munthe dari
Walhi Sumut mencatat kasus ini terjadi di hutan register 1 Kabupaten
Simalungun. "Sebanyak 56 petani ditangkap polisi
dengan alasan merambah hutan. Padahal, hutan yang mereka rambah sudah gundul
oleh pembalak liar. Petani yang katanya merambah malah mendapat pembinaan dari
dinas kehutanan setempat untuk mengelola hutan. Dengan alasan operasi hutan
lestari, mereka malah ditangkap, sementara pengusaha yang dulu membalak sampai
sekarang dibiarkan bebas," kata Hardi.
Solusinya, menurut Hardi, rakyat diberi hak pengelolaan
hutan. Hardi mengatakan, hampir semua rakyat di Sumut yang tinggal di sekitar
hutan punya kearifan lokal. Di Tapanuli Selatan dikenal istilah hutan harangan
(larangan), wilayah hutan yang terlarang dieksploitasi warga. "Pengelolaan hutan bisa sustainable dan rakyat
bisa mendapat keuntungan. Di Simalungun, rakyat sudah menanami bekas hutan yang
gundul dengan pohon seperti kemiri, mangga, dan durian. Namun, mengapa mereka
malah ditangkapi. Dengan tanaman jenis itu, daerah tangkapan air terjaga,
sementara rakyat bisa dihidupi. Sementara, kalau pengusaha yang membuka hutan,
bakal monokultur dengan ditanami tanaman seperti sawit dan karet," kata
Hardi.[13]
VI. Penutup
Dalam
masyarakat yang plural berbagai hal dapat menjadi dasar terjadinya konflik baik
internal maupun eksternal. Contoh kasus dalam uraian tulisan ini akar konflik
yang terjadi pada saat ini adalah kelanjutan dari konflik yang terjadi pada
abad 19. Perbedaannya adalah pertentangan yang dilakukan oleh rakyat dilakukan
oleh masa pemerintahan yang berbeda. Namun bagaimanapun kepentingan rakyat
tetap harus diselesaikan seadil-adilnya karena konflik internal maupun
eksternal tentu akan merugikan pihak manapun bila tidak diselesaikan secara arif.
[1] Sunggal adalah nama salah satu urung dari empat urung
di Kerajaan Deli yang juga sebagai kerajaan penyangga dan pimpinannya menjadi
penasehat dalam menentukan keputusan
Sultan Deli. Sedangkan letaknya di sebelah Utara Kota Medan atau saat ini
menjadi nama salah satu kecamatan di Kota Medan yaitu Kecamatan Medan Sunggal
[2]Muhammad Said, Koeli Koentrak Tempo Doeloe, (medan:
Waspada, 1977), hlm. 8
[3]SP.Napitupilu, Sejarah Perlawanan Terhadap
Kolonialisme di Sumatera Utara, (Medan : Depdikbud, 1991), hlm.84
[4] Tengku Luckman Sinar, Sari Sedjarah Serdang, (Medan
: Penerbit Sendiri, Tanpa Tahun), hlm. 157.
[5] SP. Napitupulu, Op.Cit, hlm. 85
[6] Ibid.
[7]Nienhuys adalah orang yang
memperkenalkan tanah Deli ke dunia dengan membuka perkebunan tembakau, yang
galur asli daunnya masih terkenal di seluruh dunia hingga kini. Berawal dari
keberhasilan Nienhuys inilah, di wilayah Karesidenan Sumatera Timur yang kini
menjadi Sumatera Utara mulai berdiri perkebunan swasta asing dengan komoditas
lain, seperti karet dan kelapa sawit. Perusahaan swasta asing ini menyewa lahan
untuk membuka perkebunan dari sultan dan ketua masyarakat adat melalui akta
konsesi.
[8] http//www.yahoo.blok.karo.....24 Oktober 2007
[9] Lebih lanjut dapat dibaca
dalam buku K Saidin, Kepala Pertanahan Kesultanan Deli, dalam buku Sengketa
Tanah dan Alternatif Pemecahan Studi Kasus di Sumatera Utara (Sumut), atau site
: http//www. Block karo...
[11] ibid
[12] Peristiwa Bandar Betsy
selalu dikaitkan dengan masalah pemberontaan PKI di Sumatera Utara meskipun
saat ini telah diulas bahwasanya peristiwa ini lebih cenderung pada masalah
sengketa tanah.